Sejarah

Banner IDwebhost

Kerajaan Sunda

 

A. Latar Belakang Berdiri Kerajaan Sunda

Menurut Naskah Wangsakerta dari Cirebon, sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).

 

B. Sistem pemerintahan, sosial, ekonomi, dan kebudayaan Kerajaan Sunda

1. Sistem pemerintahan / Politik

Berdirinya Kerajaan Sunda serta “merdekanya” Kerajaan Galuh, sekaligus pula merupakan pertanda berakhirnya era kekuasaan Kerajaan Tarumanegara. Berbeda dengan Kerajaan Galuh, Kerajaan Sunda pada masa awal berdirinya sama sekali tidak pernah mengalami masa-masa perwalian Kerajaan Tarumanegara.

Dengan demikian, sewaktu didirikan tahun 670 oleh Tarusbawa, Kerajaan Sunda langsung tampil sebagai kerajaan yang merdeka.Sepanjang eksistensinya selama kurang lebih 909 tahun (670 M – 1579 M), Kerajaan Sunda pernah mengalami tiga kali integrasi politik dengan Kerajaan Galuh:

1. Integrasi politik pertama berlangsung dari tahun 723 M sampai 739 M, dengan tokoh pemersatunya, Sanjaya Harisdharma, yang sekaligus menjadi raja pertama yang memerintah kerajaan produk integrasi, Sunda-Galuh. Di samping Sanjaya, raja lain yang pernah memerintah dalam masa integrasi pertama ini adalah Rakeyan Tamperan. Belum dapat diketahui dengan jelas kapan integrasi politik pertama ini berakhir atau kapan kedua kerajaan ini saling memisahkan diri kembali.

2.   Integrasi politik kedua berlangsung dalam era pemerintahan Rakeyan Wuwus (819-891 M), tepatnya tahun 852 M. Integrasi ini disebabkan karena raja Galuh (Prabu Linggabumi) tidak memiliki keturunan. Oleh karena itu, tahtanya diserahkan kepada Rakeyan Wuwus setelah sebelumnya Rakeyan Wuwus menikahi adik Prabu Linggabumi. Namun demikian, sebagaimana halnya saat integrasi politik pertama, integrasi politik kedua yang kemudian diperkuat lagi oleh adanya perkawinan politis lainnya antara adik Rakeyan Wuwus dengan Prabu Darmaraksabuana (pengganti Rakeyan Wuwus), juga belum memiliki kejelasan data lebih lanjut, khususnya mengenai masa akhir integrasi politik.

3. Integrasi politik ketiga berlangsung dari tahun 1482 M sampai 1579 M, dengan tokoh pemersatunya, Sri Baduga Maharaja. Dalam masa integrasi politik ketiga ini, di samping Sri Baduga Maharaja masih ada lima raja lainnya yang pernah memerintah, yakni, Sang Prabu Surawisesa (1521-1535 M), Sang Prabu Dewatabuwana (1535 – 1543 M), Sang Prabu Ratu (1543 – 1551), Sang Prabu Nilakendra (1551 – 1567 M), dan raja terakhir Sang Ratu Ragamulya atau Prabu Surya Kancana (1567 – 1579). Enam raja yang berkuasa dalam masa integrasi politik ketiga ini sekaligus pula menjadi bagian dari 40 orang raja yang pernah memerintah Kerajaan Sunda.

Kerajaan Sunda sebagai sebuah kerajaan “besar” juga memiliki kerajaan-kerajaan kecil atau kerajaan daerah yang berkedudukan sebagai kerajaan bawahan. Kerajaan-kerajaan kecil yang pernah eksis dan menjadi bawahan Kerajaan Sunda di antaranya adalah, Kerajaan Talaga, Saunggaluh, Cirebon Girang, dan Kerajaan Tanjung Barat. Kerajaan Sunda juga telah memiliki suatu struktur pemerintahan yang relatif telah teratur.

 

2. Sistem Sosial

Berdasarkan kitab Sanghyang Siksakandang Karesian, kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Sunda sanggup dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain sebagai diberikut:

a. Kelompok Rohani dan Cendekiawan

Kelompok rohani dan cendekiawan ialah kelompok masyarakat yang mempunyai kemampuan di bidang tertentu. Misalnya, brahmana yang mengetahui banyak sekali macam mantra, pratanda yang mengetahui banyak sekali macam tingkat dan kehidupan keagamaan, dan janggan yang mengetahui banyak sekali macam pemujaan, memen yang mengetahui banyak sekali macam cerita, paraguna mengetahui banyak sekali macam lagu atau nyanyian, dan prepatun yang mempunyai banyak sekali macam dongeng pantun.

b. Kelompok Aparat Pemerintah

Kelompok masyarakat sebagai alat pemerintah (negara), contohnya bhayangkara (bertugas menjaga keamanan), prajurit (tentara), hulu jurit (kepala prajurit).

c. Kelompok Ekonomi

Kelompok ekonomi ialah orang-orang yang melaksanakan acara ekonomi. Misalnya, juru lukis (pelukis), pande mas (perajin emas), pande dang (pembuat perabot rumah tangga), pesawah (petani), dan palika (nelayan). Kehidupan masyarakat Kerajaan Sunda ialah peladang, sehingga sering berpindah-pindah. Oleh sebab itu, Kerajaan Sunda tidak banyak meninggalkan bangunan yang permguan, menyerupai keraton, candi atau prasasti. Candi yang paling dikenal dari Kerajaan Sunda ialah Candi Cangkuang yang berada di Leles, Garut, Jawa Barat.

 

3. Keadaan Ekonomi

Kerajaan Sunda adalah kerajaan yang masyarakatnya hidup dari pertanian, hasil pertaniannya menjadi pokok bagi pendapat kerajaan. Aneka hasil pertanian seperti lada, asam, beras, sayur mayur dan buah-buahan banyak dihasilkan masyarakat kerajaan Sunda, selain itu, ada juga golongan peternak Sapi, kambing, biri-biri dan babi adalah hewan yang banyak diperjualbelikan di bandar-bandar pelabuhan kerajaan Sunda.

Menurut Tom Pires, kerajaan Sunda memiliki enam buah pelabuhan penting yang masing-masing di kepalai oleh seorang Syahbandar. mereka bertanggungjawab kepada raja dan bertindak atas nama raja di masing-masing pelabuhan, Banten, Pontang, Cigede, Tomgara, Kalapa dan Cimanuk adalah pelabuhan-pelabuhan yang dimiliki kerajaan Sunda.

 

4. Kehidupan Budaya

Kitab carita Parahyangan dan serta Dewabuda memberi petunjuk bahwa masyarakat kerajaan Sunda banyak mendapat pengaruh budaya Hindu dan Budha. Dari segi budaya orang Sunda dikenal sebagai orang gunung karena banyak menetap di kaki gunung. Kedua budaya itu selanjutnya berbaur dengan unsur budaya leluhur yang telah ada sebelumnya. Kerajaan Sunda merupakan kerajaan pecahan dari kerajaan tarumanegara. Kerajaan Sunda beribu kota di Parahyangan Sunda. Sementara itu menurut prasasti Astana Gede (Kawali – Ciamis) ibu kota kerajaan Sunda berada di Pakwan Pajajaran.

 

C. Peninggalan Kerajaan Sunda

1. Prasasti Cikapundung

Prasasti ini ditemukan warga di sekitar sungai Cikapundung, Bandung pada 8 Oktober 2010. Batu prasasti bertuliskan huruf Sunda kuno tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-14. Selain huruf Sunda kuno, pada prasasti itu juga terdapat gambar telapak tangan, telapak kaki, dan wajah. Hingga kini para peneliti dari Balai Arkeologi masih meneliti batu prasasti tersebut.

Batu prasasti yang ditemukan tersebut berukuran panjang 178 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 55 cm. Pada prasasti itu terdapat gambar telapak tangan, telapak kaki, wajah, dan dua baris huruf Sunda kuno bertuliskan “unggal jagat jalmah hendap”, yang artinya semua manusia di dunia akan mengalami sesuatu. Peneliti utama Balai Arkeologi Bandung, Lutfi Yondri mengungkapkan, prasasti yang ditemukan tersebut dinamakan Prasasti Cikapundung.

2. Prasasti Pasir Datar

Prasasti Pasir Datar ditemukan di Perkebunan Kopi di Pasir Datar, Cisande, Sukabumi pada tahun 1872 . Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta. Prasasti yang terbuat dari batu alah ini hingga kini belum ditranskripsi sehingga belum diketahui isinya.

3. Prasasti Huludayeuh

Prasasti Huludayeuh berada di tengah persawahan di kampung Huludayeuh, Desa Cikalahang, Kecamatan Sumber dan setelah pemekaran wilayang menjadi Kecamatan Dukupuntang – Cirebon.

Prasasti Huludayeuh telah lama diketahui oleh penduduk setempat namun di kalangan para ahli sejarah dan arkeologi baru diketahui pada bulan September 1991. Prasasti ini diumumkan dalam media cetak Harian Pikiran Rakyat pada 11 September 1991 dan Harian Kompas pada 12 September 1991.

Prasasti Huludayeuh berisi 11 baris tulisan beraksa dan berbahasa Sunda Kuno, tetapi sayang batu prasasti ketika ditemukan sudah tidak utuh lagi karena beberapa batunya pecah sehingga aksaranya turut hilang. Begitupun permukaan batu juga telah sangat rusak dan tulisannya banyak yang turut aus sehingga sebagian besar isinya tidak dapat diketahui. Fragmen prasasti tersebut secara garis besar mengemukakan tentang Sri Maharaja Ratu Haji di Pakwan Sya Sang Ratu Dewata yang bertalian dengan usaha-usaha memakmurkan negrinya.

4. Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis

Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis adalah sebuah prasasti berbentuk tugu batu yang ditemukan pada tahun 1918 di Jakarta.. Prasasti ini menandai perjanjian Kerajaan Sunda–Kerajaan Portugal yang dibuat oleh utusan dagang Portugis dari Malaka yang dipimpin Enrique Leme dan membawa barang-barang untuk “Raja Samian” (maksudnya Sanghyang, yaitu Sang Hyang Surawisesa, pangeran yang menjadi pemimpin utusan raja Sunda). Prasasti ini didirikan di atas tanah yang ditunjuk sebagai tempat untuk membangun benteng dan gudang bagi orang Portugis.

Prasasti ini ditemukan kembali ketika dilakukan penggalian untuk membangun fondasi gudang di sudut Prinsenstraat (sekarang Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Kali Besar Timur I), sekarang termasuk wilayah Jakarta Barat. Prasasti tersebut sekarang disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, sementara sebuah replikanya dipamerkan di Museum Sejarah Jakarta

5. Prasasti Ulubelu

Prasasti Ulubelu adalah salah satu dari prasasti yang diperkirakan merupakan peninggalan Kerajaan Sunda dari abad ke-15 M, yang ditemukan di Ulubelu, Desa Rebangpunggung, Kotaagung,Lampung pada tahun 1936.

Meskipun ditemukan di daerah lampung (Sumatera bagian selatan), ada sejarawan yang menganggap aksara yang digunakan dalam prasasti ini adalah aksara Sunda Kuno, sehingga prasasti ini sering dianggap sebagai peninggalan Kerajaan Sunda. Anggapan sejarawan tersebut didukung oleh kenyataan bahwa wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga wilayah Lampung. Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka kekuasaan atas wilayah selatan Sumatera dilanjutkan oleh Kesultanan Banten. Isi prasasti berupa mantra permintaan tolong kepada kepada dewa-dewa utama, yaitu Batara Guru (Siwa), Brahma, dan Wisnu, serta selain itu juga kepada dewa penguasa air, tanah, dan pohon agar menjaga keselamatan dari semua musuh.

6. Prasasti Kebon Kopi II

Prasasti Kebonkopi II atau Prasasti Pasir Muara peninggalan kerajaan Sunda-Galuh ini ditemukan tidak jauh dari Prasasti Kebonkopi I yang merupakan peninggalan kerajaan tarumanegara dan dinamakan demikian untuk dibedakan dari prasasti pertama.

Namun sayang sekali prasasti ini sudah hilang dicuri sekitar tahun 1940-an. Pakar F. D. K. Bosch, yang sempat mempelajarinya, menulis bahwa prasasti ini ditulis dalam bahasa Melayu Kuno, menyatakan seorang “Raja Sunda menduduki kembali tahtanya” dan menafsirkan angka tahun peristiwa ini bertarikh 932 Masehi. Prasasti Kebonkopi II ditemukan di Kampung Pasir Muara, desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada abad ke-19 ketika dilakukan penebangan hutan untuk lahan perkebunan kopi. Prasasti ini terletak kira-kira 1 km dari batu prasasti Prasasti Kebonkopi I (Prasasti Tapak Gajah).

7. Situs Karangkamulyan

Situs Karangkamulyan adalah sebuah situs yang terletak di Desa Karangkamulyan, Ciamis, Jawa Barat. Situs ini merupakan peninggalan dari zaman Kerajaan Galuh yang bercorak Hindu-Buddha. Legenda situs Karangkamulyan berkisah tentang Ciung Wanara yang berhubungan dengan Kerajaan Galuh. Cerita ini banyak dibumbui dengan kisah kepahlawanan yang luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak dimiliki oleh orang biasa namun dimiliki oleh Ciung Wanara.

Kawasan yang luasnya kurang lebih 25 Ha ini menyimpan berbagai benda-benda yang diduga mengandung sejarah tentang Kerajaan Galuh yang sebagian besar berbentuk batu. Batu-batu ini letaknya tidaklah berdekatan tetapi menyebar dengan bentuknya yang berbeda-beda. Batu-batu ini berada di dalam sebuah bangunan yang strukturnya terbuat dari tumpukan batu yang bentuknya hampir sama. Struktur bangunan ini memiliki sebuah pintu sehingga menyerupai sebuah kamar.

Batu-batu yang ada di dalam struktur bangunan ini memiliki nama dan menyimpan kisahnya sendiri, begitu pula di beberapa lokasi lain yang berada di luar struktur batu. Masing-masing nama tersebut merupakan pemberian dari masyarakat yang dihubungkan dengan kisah atau mitos tentang kerajaan Galuh seperti pangcalikan atau tempat duduk, lambang peribadatan, tempat melahirkan, tempat sabung ayam dan Cikahuripan.

 

D.  Keruntuhan / Kemunduran Kerajaan Sunda

Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur di medan Bubat dalam tahun 1357 dengan Gajah Mada. Putra mahkota yang bernama Niskala Wastu Kancana waktu itu masih kecil. Oleh karena itu Pemerintahan diwakili oleh pamannya Mangkubumi Suradipati atau Prabu Bunisora (ada juga yang menyebut Prabu Kuda Lalean, sedangkan dalam Babad Panjalu disebut Prabu Borosngora. Selain itu ia pun dijuluki Batara Guru di Jampang karena ia menjadi pertapa dan resi yang ulung). Mangkubumi Suradipati dimakamkan di Geger Omas. Setelah pemerintahan di jalankan pamannya yang sekaligus juga mertuanya, Wastu Kancana dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada usia 23 tahun.

Prabu Niskala Wastukancana dikarunia panjang umur (127 tahun), dan ia sendiri berkuasa hampir 104 tahun dengan bijaksana. Setelah Wastu Kancana wafat tahun 1475, kerajaan dipecah dua diantara Susuktunggal dan Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat.

Dengan dibaginya kerajaan sunda tersebut, maka terjadilah pergeseran pemerintahan dengan dua pusat pemerintahan yaitu pajajaran dan kawali, sehingga membentuk kerajaan-kerajaan mandiri.


Posting Komentar

0 Komentar