Sejarah

Banner IDwebhost

Kerajaan Goa Tallo


A. Kerajaan Gowa-Tallo

Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama adalah Batara Guru dan saudaranya

Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka. Perang Makassar bukanlah perang antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan Bugis; demikian pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang Makassar. Perang Makassar adalah perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya di abad ke-17.

Sumber asing terulis pertama dari Barat berasal dari catatan Tome Pires. Dia menyebutkan tentang bagaimana kemapuan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Makassar.  Dalam buku Islamisasi kerajaan Gowa, Prof. DR. Ahmad M. Swang, M.A ( 2005; 72) Tome Pires dalam perjalanannya dari Malaka ke Laut Jawa pada tahun 1513 telah menemukan orang-orang Makassar sebagai pelaut ulung. Keterangan ini dianggap keterangan tertulis Barat yang tertua. Pires menyebutkan:

“Orang-orang Makassar telah berdagang sampai ke Malaka, Jawa, Borneo, Negeri Siam dan juga semua tempat yang terdapat antara Pahang dan Siam, dalam Prof. DR. Ahmad M. Swang, M.A ( 2005; 72)”

Sumber berita dari catatan Tome Pires mungkin lebih menitikberatkan kepada sebuah kerajaan di Sulawesi belum resmi memeluk agama Islam, karena secara resmi kedua raja dari Gowa dan Tallo memeluk agama Islam pada tanggal 22 September 1605 M. Negeri tersebut kaya akan beras putih dan juga bahan-bahan makanan lainnya, banyak daging dan juga banyak kapur barus hitam. Mereka memasok barang dagangan dari luar, antara lain jenis pakaian dari Cambay, Bengal, dan Keling. Mengingat jaringan perdagangan dari Cina sudah lama, barang-barang berupa keramik juga diimpor dan hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya temuan keramik dari masa Dinasti Sung dan Ming dari daerah Sulawesi Selatan.

Kerajaan Gowa, berbeda dengan situasi Jawa dan Sumatra, Sulawesi dalam menerima pengaruh agama Islam jauh lebih lambat. Islamisasi Gowa dan Tallo, kerajaan Makassar yang tergabung sejak pertengahan abad ke-16 yang dalam zaman yang sama terlibat perdagangan dengan negeri-negeri Melayu sampai kepulauan Malaka. Pertama-tama kita melihat Gowa sebagai pusat kekuasaan politik di Sulawesi Selatan pertengahan abad ke-16. Pada masa Karaeng Tumaparisi-kalona datang orang Jawa yang bernama I Galassi. Nama Jawa menunjukan bahwa orang tersebut datang dari barat Sulawesi, jadi tidak mesti dari Pulau Jawa, besar kemungkinan dari Jawa dan Sumatra, Marwati Djoened Poesponegoro (2008: 228).

Sejak kerajaan Gowa-Tallo resmi merupakan kerajaan bercorak Islam tahun 1605 M, Gowa meluaskan politiknya agar kerajaan-kerajaan lainnya juga masuk Islam dan tunduk kepada kerajaan Gowa-Tallo antara lain Wajo tanggal 10 Mei 1610 dan Bone tanggal 23 November 1611 M. J. Norduyn berpendapat bahwa penaklukan terhadap kerajaan itu oleh Gowa-Tallo itu dirasakan sebagai harkat dan derajat agama baru yaitu Islam mendorong keruntuhan kerajaan yang memusuhi Gowa-Tallo membawa kerajaan Gowa-Tallo kepada kekuasaan dengan cepat dan pasti daripada sebelumnya.

Menarik perhatian meskipun kerajaan Gowa-Tallo sudah Islam, pada masa pemerintahan raja-raja Gowa selanjutnya melukiskan hubungan baik dengan orang-orang Portugis yang membawa agama Kristen-Katolik. Contohnya masa Sultan Gowa Muhammad Said (14 Juni 1639-16 November 1653), bahkan masa putranya Sultan Hasanuddin (16 November 1639-29 Agustus 1669). Kedua-duanya memberikan bantuan kepada orang-orang Portugis umumnya dan kepada Francisco Viera pada khususnya yang telah menjadi utusan raja Gowa ke Banten dan Batavia bahkan Sultan Muhammad Said dan Karaeng Patingalong memberikan saham dalam perdagangan yang dilakukan Fransisco Viera. Hubungan erat antara orang Portugis dengan Gowa disebabkan ancaman VOC Belanda yang hendaknya memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku.

B. Kontak Awal dengan Islam

Sebagaimana diketahui umum bahwa penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya melalui perdagangan, maka demikian halnya dengan kedatangan Islam di Gowa tidak terlepas dari faktor dagang. Penyebaran Islam yang dilakukan oleh para pedagang dimungkinkan karena didalam ajaran Islam tidak dibedakan antara tugas keagamaan seorang muslim, sebagai penyebar nilai-nilai kebenaran, dan profesinya sebagai pedagang. Setiap Muslim, apapun profesinya dituntut untuk menyampaikan ajaran Islam sekalipun satu ayat.

Kalua melihat masuknya islam ke Makassar terutama terbentuknya Kerajaan Gowa-Tallo memang bisa dilihat sedikit terlambat dari wilayah lain seperti Jawa dan Sumatra dll, sebab Kerajaan Gowa baru dikenal sebagai kerajaan yang berpengaruh dan menjadi kerajaan dagang pada akhir abad XVI atau awal abad XVII. Dalam kurun waktu tersebut para pedagang muslim dari berbagai daerah Nusantara dan para pedagang asing dari Eropa mulai ramai mendatangi daerah ini.

Prof. DR. Ahmad M. Swang, M.A ( 2005; 80) menyebutkan bahwa menurut teori yang dikembangkan oleh Noorduyn, proses islamisasi di Sulawesi Selatan tidak jauh berbeda dengan daerah-­daerah lainnya di Indonesia, yaitu melalui tiga tahap: pertama kedatangan Islam, kedua penerimaan Islam dan ketiga penyebarannya lebih lanjut.

Pendapat yang senada dikemukakan oleh H.J. de Graaf. Namun, ia lebih menekankan pada pelaku islamisasi di Asia Tenggara yang analisisnya didasarkan pada literatur Melayu. Graaf berpendapat:

bahwa Islam didakwakan di Asia Tenggara melalui tiga metode yaitu: oleh para pedagang muslim dalam proses perdagangan yang damai, oleh para dai dan orang suci (wali) yang datang dari India atau Arab yang sengaja bertujuan mengislamkan orang-orang kafir dan meningkatkan pengetahuan mereka yang telah beriman, dan terakhir dengan kekerasan dan memaklumkan perang terhadap negara-negara penyembah berhala.

Kedatangan Islam di Makassar yang dimaksudkan oleh Noorduyn dalam teorinya di atas adalah ketika pertama kali para pedagang Melayu muslim mendatangi daerah ini. Kata Melayu yang dimaksud dalam pengertian orang Makassar masa itu, tidak hanya terbatas pada wilayah daerah Riau dan Semenanjung Malaka, seperti yang diartikan sekarang, tetapi juga meliputi seluruh Pulau Sumatra,” sehingga ketika Datuk ri Bandang yang datang dari Koto Tangah Minangkabau di Makassar sebagai mubalig Islam, dia disebut sebagai orang Melayu.

Sekalipun para pedagang Muslim sudah berada di Sulawesi Selatan sejak akhir abad XV, tidak diperoleh keterangan secara pasti, baik dari sumber lokal maupun sumber dari luar, tentang terjadinya konversi ke dalam Islam oleh salah seorang raja setempat pada masa itu sebagaimana yang terjadi pada agama Katolik. Agaknya inilah yang menjadi faktor pendorong para pedagang Melayu mengundang tiga orang Muballigh dari Koto Tangah (Kota Tengah 2) Minangkabau agar datang di Makassar mengislamkan elit Kerajaan Gowa-Tallo. Inisiatif untuk mendatangkan Muballigh khusus ke Makassar, sudah ada sejak Anakkodah Bonang (Nahkodah Bonang 3) seorang ulama dari Minangkabau sekaligus pedagang, berada di Gowa pada pertengahan abad XVI (1525), tetapi nanti berhasil setelah memasuki awal abad XVII dengan kehadiran tiga orang Muballigh yang bergelar datuk dari Minangkabau (Prof. DR. H. Ahmad Sewang. M.A., Makalah)

Lontara Wajo menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang pada permulaan abad XVII dari Koto Tangah, Minangkabau. Mereka dikenal dengan nama Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar), yaitu:

1.                  Abdul Makmur, Khatib Tunggal, yang lebih populer dengan nama Datuk ri Bandang.

2.                  Sulaiman, Khatib Sulung, yang lebih populer dengan nama Datuk Patimang.

3.                  Abdul Jawad, Khatib Bungsu, yang lebih dikenal dengan nama Datuk ri Tiro.

Ketiga ulama tersebut yang berasal dari Kota Tengah Minangkabau, menurut sumber yang ditulis oleh Sultan Aceh dan Sultan Johor untuk mengembangkan dan menyiarkan agama Islam di Sulawesi selatan. Mereka terlebih dahulu mempelajari kebudayaan orang Bugis-Makassar, di Riau dan Johor, dimana banyak orang-orang Bugis-Makassar berdiam, sesampainya di Gowa, mereka memperoleh keterangan dari orang-orang Melayu yang banyak tinggal di Gowa, bahwa raja yang paling dimuliakan dan dihormati adalah Datuk Luwu’ sedangkan yang paling kuat dan berpengaruh ialah Raja Tallo dan Raja Gowa (Prof. Mr. DR. Andi Zainal Abidin, 1990: 228-231). Graaf dan Pigeaud mengemukakan bahwa Datuk ri Bandang sebelum ke Makassar lebih dahulu belajar di Giri. Datuk ri Bandang dan temannya yang lain ketika tiba di Makassar, tidak langsung melaksanakan misinya, tetapi lebih dahulu menyusun strategi dakwah. Mereka menanyakan kepada orang-orang Melayu yang sudah lama bermukim di Makassar tentang Raja yang paling dihormati. Setelah mendapat penjelasan, mereka berangkat ke Luwu untuk menemui Datuk Luwu’, La Patiware Daeng Parabu. Datuk Luwu adalah raja yang paling dihormati, karena kerajaanya dianggap kerajaan tertua dan tempat asal nenek moyang raja-raja Sulawesi Selatan. Kedatangan Datuk Tellue mendapat sambutan hangat dari Datuk Luwu’, La Patiware Daeng Parabu (Prof. DR. H. Ahmad Sewang. M.A., Makalah).

Menurut sumber Portugis Antonio de Payva yang datang ke Sulawesi Selatan tahun 1542 M, ia menyebutkan bahwa ketika mengadakan aktivitas misi Katolik di Siang, ia mendapat rintangan dari para pedagang Melayu muslim yang diperkirakan sudah menetap di sana sekitar 50 tahun sebelumnya. Laporan Payva dapat dianggap sebagai informasi Eropa yang tertua tentang kegiatan orang-orang Melayu di Sulawesi Selatan. Berdasarkan laporan ini dapat diperkirakan, pada akhir abad XV orang-orang Melayu sudah melakukan aktivitas perdagangan di daerah ini. Namun, tidak dapat diketahui secara pasti, berapa jumlah orang-orang Melayu yang melakukan kontak pertama dengan daerah ini. Kemungkinan mereka semakin banyak yang berimigrasi dan menetap di Makassar setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis 1511. Dalam hubungan ini Noorduyn menulis:

“Zowel uit Portugese als uit Makasaarse bronnen is bekend, dat reeds vrij vmeg in de 16de eeuw Maleise, dus Muslimse, handelaars zich in Makasar en elders op de kust van Z. Celebes gevestigd hadden.”

“Baik sumber-sumber Portugis ataupun sumber-sumber Makassar telah dikenal, sudah sejak awal abad XVI para pedagang Melayu, jadi orang­orang muslim, sudah menetap di Makassar dan tempat-tempat lainnya di pesisir barat daya Sulawesi”.

Tampaknya, sumber Makassar yang dimaksud Noorduyn di atas berasal dari Lontara Makassar, yaitu Pattorioloanga ri Togowaya (Sejarah Gowa). Dalam lontara tersebut terdapat keterangan bahwa pada masa pemerintahan Raja Gowa X (1546-1565), bernama Tonipalangga I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung, telah datang seorang utusan orang-orang Melayu, Datuk Anakkoda Bonang, menghadap kepadanya agar diberi hak atas sebuah kawasan perkampungan di Makassar, seperti dikisahkan dalam lontara:

latommi napappalakki empoang Jawa nikanaya Anakoda Bonang. Naia erang-eranna ri Karaenga, nappala ‘na empoang, kontua anne: kamaleti sibatu, belo sagantuju pulona sowonganna, sakalla ‘ sikayu, sikayu, cinde ilau sitangga kodi. Nakana Anakoda Bonang ri Karaenga Tonipalannga; “appaki rupana kupala ‘-palaka rikatte karaeng; ” nakanamo karaenga: “apa? ” Nakanamo: “kipalaki, tanipantamaia embammang, tanigayanga punna nia’anammang, tani rappung punna nia’ salammang.” Naniioi ri Karaenga; nakanan karaenga: tedongkujanjo maposo nakuparamme, mabattala ‘nakutaroi, alaikaupaseng parangku tau, naiajia tamammunoako ributtaku punna kuasenga.

“Dialah yang meminta (memberi) tempat kediaman pada orang Jawa yang disebut Anakkoda Bonang. Adapun persembahannya kepada raja ketika is meminta tempat kediaman, ialah: sepucuk kamelati, delapan puluh junjungan “belo”, sekayu sekelat, sekayu beludu dan setengah kodi “cinde ialu. ” Kata Anakoda Bonang kepada Raja Tonipalangga: “empat macam kami harap-harapkan dari Tuanku;” maka menyahutlah Raja itu “apa itu?” Ia menjawab; “kami minta supaya jangan dimasuki pekarangan kami (dengan begitu saja), jangan dimasuki rumah kami (dengan begitu raja), janganlah kami dikenakan peraturan “nigayang” bila ada anak kami, dan janganlah kami dikenakan peraturan “nirappung” bila ada kesalahan kami Maka diperkenankanlah (permintaan itu) oleh Raja, dan berkatalah Raja, “Sedangkan kerbauku bila lelah kuturunkan ke dalam air, bila bebannya berat saya turunkan sebagian, apalagi engkau sesamaku manusia, akan tetapi janganlah engkau melakukan pembunuhan dalam kerajaanku di luar pengetahuanku.”

Demikianlah keterangan tertulis dalam kepustakaan Lontara Gowa, mengenai kedatangan orang Melayu. Mereka mendapat perlindungan istimewa dari kerajaan untuk menempati daerah sekitar pelabuhan Somba Opu di Kampung Mangallekana. Yang dimaksud dengan “orang Jawa” dalam lontara tersebut adalah orang-orang Melayu dari Pahang, Patani, Campa, Minangkabau, dan Johor. Hal ini bisa diketahui pada dialog selanjutnya antara Anakkoda Bonang dengan raja:

Nanakanatodong, “Siapai rupanna nupailalang kana-kana? ” Nakanamo Anakkoda Bonang, “Sikontukang Ikambe ma’lipa’ baraya kontui Pahangan, Patania, Campaya, Marangkaboa, Johoroka.”

“Berkatalah pula Raja, “Berapa macam (orang) yang kau masukkan ke dalam permintaan itu?” Berkatalah Anakkoda Bonang, “Semua kami yang bersarung ikat ialah (orang) Pahang, Patani, Campa, Menangkabau, dan Johor.”

Hubungan baik antara pendatang Melayu dengan penduduk setempat, menyebabkan mereka mendapatkan tempat istimewa di hati raja. Tidak mengherankan, jika Raja Gowa berikutnya, yaitu Tonijallo (1565-1590) memberikan fasilitas tempat ibadah, sebuah masjid, di tempat pemukiman mereka, di Mangallekana. Pemberian fasilitas masjid menandakan bahwa raja memberikan perhatian kepada para pedagang muslim. Di pihak lain, para pedagang muslim berusaha memelihara hubungan baik itu dengan kerajaan yang dapat dilihat dari kontribusi yang diberikan oleh para pedagang Melayu terhadap pembinaan kerajaan. Sejak awal kedatangan mereka, yaitu di masa pemerintahan Raja Gowa X, Tonipalangga, seorang keturunan Melayu bernama I Daeng ri Mangallekana diangkat sebagai syahbandar yang kedua pada Kerajaan Gowa. Sejak saat itu secara turun-temurun jabatan syahbandar dipegang oleh orang Melayu sampai pada masa Ince Husein sebagai syahbandar terakhir. Dia mengakhiri jabatannya pada tahun 1669, ketika Kerajaan Gowa mengalami kekalahan melawan VOC. Jabatan penting lainnya yang dipegang oleh orang­orang Melayu adalah juru tulis istana. Salah seorang yang paling menonjol di antara orang-orang Melayu itu adalah Ince Amin. Dia adalah juru tulis terakhir yang amat terkenal pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin. Sebuah karya tulisnya yang masih bisa ditemukan sekarang adalah “Sja’ ir Perang Makassar”. Karya ini mengisahkan saat-saat terakhir masa kekuasaan Kerajaan Gowa tahun 1669.

Beberapa sumber lokal mengemukakan, peranan orang-orang Melayu dalam bidang perdagangan dan penyebaran Islam cukup berarti dalam upayanya untuk membendung pengaruh Katolik. Sampai tahun 1615 roda perekonomian, khususnya perdagangan antar pulau yang melalui pelabuhan Makassar, dikuasai oleh orang-orang Melayu. Komoditas beras sebagai hasil utama Makassar diekspor ke Malaka dengan kapal orang-orang Melayu.

Sumbangan utama orang-orang Melayu dalam penyebaran agama Islam adalah upayanya untuk mendatangkan mubalig­mubalig Islam. Upaya itu dilakukan untuk membendung pengaruh agama Katolik menyusul kedatangan Portugis di daerah ini.

C. Raja Gowa-Tallo Masuk Islam dan menjadi Kerajaan Islam

Setelah Datuk Tellue (Datuk yang tiga) berhasil mengislamkan Datuk Luwu’ dan keluarganya pada 15 Ramadhan 1013 H atau 1603 M (Lontarak Sukkukna Wajo’) dan raja Luwu’ La Patiwarek Daeng Parabbung diberikan gelar Sultan Muhammad Waliul Mudharuddin (Andaya, 1981: 304,  Andi Rasydiana, 1995: 60). Oleh karena La Patiwarek Daeng Parabbung adalah ipar raja Gowa I Mangarangi Daeng Manrabia, yaitu permaisurinya Karaengta ri Ballakbugisik adalah saudara raja Gowa, maka orang-orang Minang itu memohon supaya raja Luwu’ meminpin pengislaman orang-orang Sulawesi Selatan (Prof. Mr. DR. Andi Zainal Abidin, 1990: 228-231). Mereka lalu menyusun strategi baru dengan memprioritaskan daerah-daerah tertentu untuk menyebarkan Islam selanjutnya, yaitu dengan membagi tenaga dan daerah sasaran dakwah disesuaikan dengan keahlian mereka dan kondisi kultur daerah masing-masing.

Cerita rakyat di atas sekalipun bercampur mitos, tetapi dapat diartikan bahwa Datuk ri Bandang dan Raja Tallo memegang peranan penting pada periode awal islamisasi di daerah ini. Peranan kedua tokoh itu diperkuat oleh beberapa sumber lokal. Dalam kronik Tallo menyebutkan, Raja Tallo menerima Islam pada tahun 1605, sedang dalam Lontara’ Pattorioloanga ri Togowaya (Sejarah Kerajaan Gowa) menceritakan tentang penerimaan Islam Raja Gowa, Sultan Alauddin. Dalam lontara disebutkan:

Mantamai ritaung tudju nama’gau’ areng kalenna, iangku mabassung nikana I Mangngarangi areng paman’na I Daeng Manra ‘bia areng Ara ‘na nikana sulthan Alau ‘ddin, nasampulo taung anrua ma ‘gau ‘ namantama Isilang, Marangkabo ampasahadaki, kota Wanga arenna para’sanganna, Katte Tonggala ‘areng kalenna, ammempopi riappa ‘na Pammatoang ritanaja nanikanamo I Dato ‘ri Bandang; napantamanga Isilang Karaenga salapang bangnginna bulan Djumadele ‘ awwala’, riallona Djumaka, mese’-na Septembere ‘ ruampulo anrua, hejera’na Na ‘bia Sallalahu alaihi wasallang.

“Ia (Raja Gowa) mengendalikan pemerintahan semasih berumur tujuh tahun, nama kecilnya, semoga saya tidak berdosa menyebutkannya, adalah I Mangngarangi, nama daeng-nya adalah I Daeng Manra’bia, nama Arabnya adalah Sultan Alauddin. Setelah ia memerintah dua belas tahun, ia masuk Islam yang dibawa oleh orang dari Koto Tangah, Minangkabau. Orang inilah yang mengajarkan kepadanya kalimat syahadat. Ia digelar Datuk ri Bandang setelah ia bertempat tinggal di Kampung Pammatoang (Bandang). Raja (Gowa) masuk Islam pada hari Jumat, 9 Jumadil Awal bertepatan dengan 22 September.”

Menurut keterangan Andi Kumala Idjo, SH (pewaris putra mahkota Kerajaan Gowa sekarang ), menuturkan bahwa dalam hal membagi tenaga dan daerah sasaran dakwah dari tiga Muballigh ini (Datuk Tallua), maka Abdul Makmur Khatib Tunggal, Datuk ri Bandang berdakwah di daerah Gowa yang kemudian mengislamkan raja Gowa-Tallo, lalu Sulaiman, Khatib Sulung, Datuk Patimang berdakwah di Luwu, sedangkan Abdul jawad, Khatib Bungsu, Datuk ri Tiro berdakwah di daerah Bulukumba. I Mangngerangi Daeng Manrabia dinobatkan menjadi raja sejak umur 7 tahun dan pada waktu masuk Islam usianya baru 17 tahun.

Menurut Lontarak Sukku’na Wajo’ dan Lontarak Patturiolong Tallo’ bahwa raja Gowa I Mangakrangi Daeng Manrabia memeluk agama Islam pada hari Kamis malam atau malam Jumat 9 Jumadil Awal 1014 H (22 September 1605 M). Setelah I Mallingkaan Daeng Manyonri’ memeluk agama Islam (Abd. Razak Daeng Patunru, 1967: 19) maka menyusullah raja Gowa. Raja Gowa-Tallo ini memeluk Islam pada hari yang sama yaitu pada hari Kamis malam atau malam Jumat, dan mungkin sekali yang mengucapkan Syahadat pertama kali adalah I Mallingkaan Daeng Manyonri’ (Noorduyn, 1953: 93).

Setelah Raja Gowa-Tallo masuk Islam pada tahun 1605 M yaitu I Managarangi Daeng Manrabia, Sultan alauddin (raja Gowa XIV) dan I Mallingkaan Daeng Manyonri, Sultan Abdullah Awwalul Islam. Maka hanya dalam waktu dua tahun yaitu ditahun 1607, rakyat Gowa dan Tallo pada umumnya sudah memeluk agama Islam dan raja Gowa memaklumkam, bahwa agama Islam adalah agama resmi kerajaan di Gowa-Tallo (H.A. Massiara Dg, 1988: 55-62).

Perlu dicatat bahwa rakyat yang berbondong-bondong memeluk agama Islam mengikuti raja mereka pada waktu itu bukanlah karena dipaksa atau diancam akan tetapi mereka setelah menyadari kebenaran agama Islam berkat penerangan agama (dakwah) yang dberikan secara intensif oleh ulama Abdul Khatib Makmur dan kawan-kawan yang bermukim dikampung Kalukubodoa (Lontarak Sukkukna Wajo). Menurut Lontarak Bilang Gowa bahwa pada tanggal 9 Nopember 1607, 18 Raja Hijara Sanna 1017 allo Juma’nauru mammenteng Jumaka ri Tallo’, uru sallanta. Ia anne bedeng bunduka ri Tamapalo (artinya: Mula (Pertama kali) diadakan shalat Jumat di Tallo, ketika mula (sejak) masuk Islam, Dalam tahun ini konon terjadinya perang Tamapalo) (Prof. Mr. DR. Andi Zainal Abidin, 1999: 228-231).

Penyebaran Islam oleh Kerajaan Gowa-Tallo

Masuknya Agama Islam di Sulawesi Selatan (Abad XVI-XVII)

Sejak resminya agama Islam di gowa-Tallo, maka raja Gowa Sultan Alauddin makin kuat kedudukannya sebab beliau juga diakui sebagai Amirul Mukminin (kepala agam Islam) dan kekuasaan Bate Salapanga diimbangi oleh Qadhi, yang menjadi wakil raja untuk urusan keagamaan bahkan oleh orang-orang Makassar, Bugis dan Mandar yang telah lebih dahulu memeluk agama Islam pada abad XVI. Sultan alauddin dipandang sebagai pemimpin Islan di Sulawesi selatan.

Cara pendekatan yang dilakukan oleh Sultan Alauddin dan Pembesar Kerajaan Gowa adalah mengingatkan perjanjian persaudaraan lama antara Gowa dengan negeri atau kerajaan yang takluk atau bersahabat yang berbunyi antara lain, bahwa barangsiapa diantara kita (Gowa dan sekutunya atau daerah taklukannya) melihat suatu jalan kebajikan, maka salah satu dari mereka yang melihat itu harus menyampaikan kepada pihak lainnya (H.A. Massiara Dg, 1988: 55-62).

Maka dengan dalih bahwa Gowa sekarang sudah melihat jalan kebajika yaitu agama Islam, Kerajaan Gowa meminta kepada kerajaan-kerajaan taklukannya agar turut memeluk agama Islam. Maka pendekatan serupa ini banyak hasilnya. Namun kerajaan-kerajaan yang merasa dirinya sudah mampu dan dewasa dibidang pemerintahan, menolak ajakan itu. Beberapa kerajaan kecil sekitar Gowa memenuhi seruan memeluk Islam, akan tetapi kerajaan Bugis dan Mandar yang kuat seperti Bone, Soppeng, Wajo’, Sidenreng, Sawitto, Suppak, Balannipa dan kerajaan Mandar lain menolak keras ajakan itu, karena disebabkan faktor-fakator sebagai berikut:

1.                  mereka sukar meninggalkan kegemaran makan babi, minum tuak, sabung ayam dengan berjudi, beristri banyak dan lain-lain.

2.                  mereka khawatir bahwa mereka akan dijajah oleh Gowa

Kepada yang menolak itu dikirimkan peringatan, namun setiap kali ada pesan, setiap itu pula ditolak. Dengan alasan mereka itu mau membangkan dan melawan, maka terpaksa Gowa mengangkat senjata menundukkan mereka. Empat kali dikirim balatentara untuk memerangi raja-raja Bugis, akan tetapi selalu dikalahkan oleh persekutuan raja-raja Bugis, terutama Kerajaan Tellumpoccoe: Bone, Soppeng dan Wajo yang menutup aliansi pada tahun 1582 (Noorduyn, 1955: 84) berdasarkan Boeg. Chr.I, h. 484).

Menurut H.A. Massiara Dg (1988: 55-62) mengatakan bahwa  pada tahun 1609 angkatan perang Gowa yang tangguh dikirim ke pedalaman, mula-mula ke Ajatappareng (Suppak, Sawitto, Rappang, Sidenreng) lalu tunduk dan menerima Islam sebagai agama kerajaan. Juga dalam tahun 1609 itu Kerajaan Soppeng menerimanya, tahun 1610 Kerajaan Wajo, dan tahun 1611 Kerajaan Bone.   Kerajaan Luwu’ dan Mandar tanpa ancaman perang memang sudah mennjadikan Islam sebagai agama Kerajaan.

Begitu juga diterima dikerajaan-kerajaan Enrekang Kerajaan tellu Lembana dan Tellu Batu Papan menerima ajakan Kerajaan Gowa.Pengislaman seluruh Sulawesi selatan dijalankan oleh Gowa mulai tahun 1605 M sampai tahun 1612 M (H.A. Massiara Dg, 1988: 55-62).

D.   Tokoh – tokoh kerajaan Gowa dan Tallo

Sultan Alauddin dengan nama asli Karaeng Ma’towaya Tumamenanga ri Agamanna. Ia merupakan Raja Gowa Tallo yang pertama kali memeluk agama islam yang memerintah dari tahun 1591 – 1638. dibantu oleh Daeng Manrabia (Raja Tallo) bergelar Sultan Abdullah.

Sultan Hasanuddin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhamma

d Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belandayang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Makassar.

E. Kehidupan Politik

Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Robandang/Dato’ Ri Bandang dari Sumatera, sehingga pada abad 17 agama Islam berkembang pesat di Sulawesi Selatan, bahkan raja Makasar pun memeluk agama Islam. Raja Makasar yang pertama memeluk agama Islam adalah Sultan Alaudin. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja Muhammad Said (1639 – 1653).

Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Ia berhasil menguasai Ruwu, Wajo, Soppeng, dan Bone.Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat. Daerah kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.

Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar mengadakan persetujuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar.

Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan kerajaan Makasar.
Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:

a.       VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.

b.      Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.

c.       Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makasar.

d.      Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra Hasannudin) meneruskan perlawanan melawan Belanda.Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya.

F.  Kehidupan Ekonomi

Kerajaan Makasar merupakan kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor :

• letak yang strategis,

• memiliki pelabuhan yang baik

• jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan banyak pedagang-pedagang

yang pindah ke Indonesia Timur.

Sebagai pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan internasional dan banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang untuk berdagang di Makasar.

Pelayaran dan perdagangan di Makasar diatur berdasarkan hukum niaga yang disebut dengan ADE’ ALOPING LOPING BICARANNA PABBALUE, sehingga dengan adanya hukum niaga tersebut, maka perdagangan di Makasar menjadi teratur dan mengalami perkembangan yang pesat.
Selain perdagangan, Makasar juga mengembangkan kegiatan pertanian karena Makasar juga menguasai daerah-daerah yang subur di bagian Timur Sulawesi Selatan.

G.  Kehidupan Sosial Budaya

Sebagai negara Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar adalah nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya.  Walaupun masyarakat Makasar memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut PANGADAKKANG. Dan masyarakat Makasar sangat percaya terhadap norma-norma tersebut.Di samping norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”.

Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makasar banyak menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Makasar dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo.Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan rakyat Makasar dan terkenal sampai mancanegara.

H.   Peninggalan Kerajaan Gowa dan Tallo

Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan. Nama asli benteng in i adalah Benteng Ujung Pandang.

Mesjid Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran itu berturut-turut dilakukan oleh Sultan Mahmud  (1818), Kadi Ibrahim (1921), Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948), dan Andi Baso, Pabbicarabutta Gowa (1962) sangat sulit mengidentifikasi bagian paling awal (asli) bangunan mesjid tertua Kerajaan Gowa ini.

Makam raja-raja. Tallo adalah sebuah kompleks makam kuno yang dipakai sejak abad XVII sampai dengan abad XIX Masehi. Letaknya di RK 4 Lingkungan Tallo, Kecamatan Tallo, Kota Madya Ujungpandang. Lokasi makam terletak di pinggir barat muara sungai Tallo atau pada sudut timur laut dalam wilayah benteng Tallo. Ber¬dasarkan basil penggalian (excavation) yang dilakukan oleh Suaka Peninggalan sejarah dan Purbakala (1976¬-1982) ditemukan gejala bah wa komplek makam ber¬struktur tumpang-tindih. Sejumlah makam terletak di atas pondasi bangunan, dan kadang-kadang ditemukan fondasi di atas bangunan makam.

Kompleks makam raja-raja Tallo ini sebagian ditempat¬kan di dalam bangunan kubah, jirat semu dan sebagian tanpa bangunan pelindung: Jirat semu dibuat dan balok¬balok ham pasir. Bangunan kubah yang berasal dari kuran waktu yang lebih kemudian dibuat dari batu bata. Penempatan balok batu pasir itu semula tanpa memper¬gunakan perekat. Perekat digunakan Proyek Pemugaran. Bentuk bangunan jirat dan kubah pada kompleks ini kurang lebih serupa dengan bangunan jirat dan kubah dari kompleks makam Tamalate, Aru Pallaka, dan Katangka. Pada kompleks ini bentuk makam dominan berciri abad XII Masehi.

Posting Komentar

0 Komentar