PERTEMPURAN di Palembang adalah
pertempuran yang terjadi di Palembang pada tanggal 13 Februari-15 Februari
1942. Pertempuran ini adalah bagian dari pertempuran di kawasan Pasifik pada
Perang Dunia II atau perang Asia Pasifik. Inilah dalam sejarah kota Palembang
secara tidak langsung terlibat dalam perang dunia II atau perang Asia Pasifik. Pertempuran
Palembang ini di fokuskan pada Kilang minyak Shell di dekat Plaju (atau
Pladjoe) dan Sungai Gerong, tujuan utama Kekaisaran Jepang karena embargo
minyak yang dilakukan terhadap Jepang oleh Amerika Serikat, Belanda dan Inggris
Raya.
Dengan persediaan bahan bakar dan
lapangan udara yang banyak, Palembang merupakan basis militer yang potensial
baik untuk sekutu maupun Jepang. Selain itu Battle of Palembang pada 13
Februari 1942 juga menandakan keseriusan Jepang dalam merebut sumber-sumber
minyak di wilayah Indonesia.
Serangan-serangan tersebut tidak
membuat sekutu berhasil menguasai Kilang minyak Shell di dekat Plaju (atau
Pladjoe) dan Sungai Gerong, namun baru di tanggal 14 Agustus 1945, Jepang
menyatakan jika sudah menyerah pada pasukan Sekutu sesudah dua kota industri
yang ada di Jepang yakni Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh Amerika
Serikat.
Selama Perang Dunia II, Angkatan
Darat Jepang mengendalikan bekas kilang minyak Royal Dutch Shell di Sumatra
termasuk Pangkalan Brandan dan Pladjoe (Pladju) dan kilang Stanvac di Sungei
(Soengai) Gerong. Minyak yang dimurnikan di kilang kecil Pangkalan Brandan di
Sumatra utara diangkut ke fasilitas pelabuhan di Pangkalan Susu terdekat dan
dari sana langsung ke Singapura, Malaysia, dan lokasi lain di wilayah tersebut.
Pusat produksi minyak berada di
Prabumulih, 43 mil dari Palembang di Sumatra Selatan, Sumatera Selatan adalah
kota terbesar kedua di Sumatera, setelah Medan. Minyak mentah diangkut melalui
pipa ke kilang Pladjoe besar, beberapa mil di utara Palembang.
Palembang, yang terletak sekitar
50 mil ke daratan dari Selat Banka, memiliki lokasi dua kilang minyak yang
dibangun sekitar 4 mil di sisi Sungai Moesi. Nederlandsche Koloniale Petroleum
Maatschappij (NKPM), adalah kilang minyak standar milik Amerika dibangun di
tepi anak sungai yang dikenal sebagai Sungai Komering. Kilang Bataafsche
Petroleum Maatschappij (BPM), yang dimiliki oleh Royal Dutch Shell Oil,
dibangun di dua instalasi yang terpisah, satu di sisi barat Sungai Komering di
seberang NKPM dan yang lainnya di tepi Sungai Moesi.
Pada tanggal 15 Februari 1942,
Belanda sempat menghancurkan sekitar 80 persen kilang NKPM Standard Oil, tetapi
Resimen Parasut ke-2 Jepang berhasil menguasai kilang BPM di Pladjoe walaupun
sempat terbakar. Jepang kemudian menamai Pladjoe sebagai “Kilang No. 1” dan
dikelola oleh Nihon Sekiyu. Kilang ini mampu memproduksi 45.000 barel minyak
per hari untuk spesialisasi produksi bensin penerbangan oktan tinggi.
Sedangkan, Stanvac adalah
perusahaan patungan antara Jersey Standard (Esso) dan Socony-Vacuum (Mobil),
juga mengoperasikan beberapa ladang minyak dan mengangkut minyak mentahnya ke
kilang Sungei Gerong, di sebelah timur Kota Palembang. Setelah Jepang menguasai
Sungei Gerong, mereka menamainya “Kilang No. 2”. Kilang itu mampu memurnikan
45.000 barel minyak per hari dan dikelola oleh Mitsubishi Sekiyu.
Bersama dua kilang minyak ini
merupakan kilang minyak dengan prododuksi terbesar di Asia Tenggara dan
memiliki kapasitas tahunan yang dilaporkan 20.460.000 barel minyak mentah dan
mampu menghasilkan 78 persen bensin penerbangan oktan tinggi untuk pesawat
terbang Jepang dan 22 persen bahan bakar minyak. Tentara Jepang menggunakan
sebagian besar kapal tanker milik Inggris dan Belanda yang berhasil di kuasai
untuk mengangkut bahan bakar melintasi Sungai Musi (Moesi). Sungai Musi
menyusuri sungai Ogan dan Komering dekat Palembang dengan kapal laut yang
jaraknya sekitar 50 mil ke utara memasuki Selat Bangka.
Permintaan bahan bakar Jepang
pada masa perang begitu besar sehingga hampir setiap hari perjalanan diperlukan
untuk mengangkut minyak dari Sumatera ke Singapura untuk pengiriman ke
Kekaisaran Jepang dan tujuan jauh lainnya. Bahan bakar juga diangkut baik dalam
jumlah besar atau dalam bentuk kotak (kaleng) ke lokasi yang lebih kecil dan
lebih terpencil di dan sekitar Malaya dan bekas wilayah Hindia Belanda.
Asiatic Petroleum sendiri adalah
anak perusahaan Royal Dutch Shell Oil, sebelumnya memiliki pusat penyimpanan di
Pulau Bukum dan Pulau Sebarok dekat Singapura. Produk minyak olahan dibawa dari
Sumatra dan disimpan di pusat penyimpanan yang di dekat Singapura. Perjalanan
pulang pergi dari Palembang ke Singapura dan kembali, termasuk pemuatan dan
pemakaian bahan bakar, rata-rata sekitar satu minggu, tetapi banyak perjalanan
memakan waktu lebih lama, menunjukkan kemungkinan kesulitan pemuatan dan
pembongkaran dan / atau masalah mesin kapal dan mungkin pendaratan.
Tindakan Jepang tersebut membuat
pihak sekutu melalui Kepala Staf Gabungan di Kairo, Mesir pada November 1943
menggelar Konferensi Kairo (kode bernama “SEXTANT”) dihadiri oleh Presiden
Franklin D. Roosevelt dari Amerika Serikat, Perdana Menteri Winston S.
Churchill dari Inggris, Generalissimo Chiang Kai-shek dari Republik Nasionalis
China dan Kepala Staf Gabungan Inggris dan Amerika.
Tujuan dari pertemuan itu adalah
untuk membahas operasi militer melawan Jepang. Salah satu perjanjian penting
yang dibuat adalah untuk memulai pemboman jarak jauh (VLR) dari target-target
vital di Hindia Belanda pada tahun 1944. Pada malam 10/11 Agustus 1944, USAAF
meluncurkan “Operation Boomerang.” Lima puluh empat pesawat Boeing B-29 “Super
Fortress” pembom berat dari Twentieth (XX) Bom Wing Command ke-358 di Chengtu, Cina
diterjunkan dan terbang di ketinggian 7.200 kaki dari RAF China Bay, dekat
Trincomalee, Ceylon (Sri Lanka) dengan melakukan serangan radar malam hari di
kilang Pladjoe di Palembang yang pertama .Pesawat B-29 terbang secara terpisah
dari Teluk Cina langsung ke Pulau Siberoet, di lepas Pandang, Sumatra dan
kemudian langsung ke Palembang.
Sejumlah pesawat gagal mencapai
sasaran karena berbagai alasan, tetapi 39 pesawat lain mencapai target utama
mereka, dua pesawat pengebom mencapai kilang sekunder Pangkalan Brandan, satu
pesawat terbang di Djambi. Hanya pesawat sembilan B-29 dari Kelompok Bom ke-444
yang mencapai Palembang dan dipaksa untuk mengebom dalam kondisi awan tebal.
Mereka menjatuhkan 36 bom GP lima ratus pound dan 16 bom foto flash. Hasil pemboman
di Pladjoe tidak terdeteksi, tetapi serangan tersebut dinilai buruk.
Kelompok Bom ke-462 “Hellbirds”
delapan minelaying B-29 memiliki keberuntungan yang lebih baik. Terbang di
ketinggian 1.000 kaki hingga diketinggian 500 kaki di atas Sungai Musi, mereka
memberondong kapal-kapal Jepang. Mereka mengklaim telah membuat tiga kapal
tenggelam, kerusakan dua lagi dan menutup operasional dari sungai ke kilang
selama sebulan.
Penerbangan 19 jam, 40 menit
penerbangan dari Ceylon ke Palembang dilakukan pesawat tempur USAAF di WW II. Armada
Timur Britania membentuk pasukan penyelamat udara-laut termasuk kapal
penjelajah ringan HMS CEYLON, kapal perusak HMS REDOUBT, kapal selam HMS
TERRAPIN dan HMS TRENCHANT, kapal kecil dan berbagai jenis pesawat. Kapal
selam, yang berbasis di Trincomalee, berpatroli di sebelah barat Sumatra dan
bertindak sebagai suar radio.
Satu Pesawat B-29 hilang saat
kembali karena kehabisan bahan bakar dan jatuh di laut, 90 mil dari China Bay. Pesawat
dan HMS REDOUBT menerima sinyal “Gibson girl” dari pesawat B-29. Seorang kru
tewas, tetapi awak lainnya selamat.
Bersamaan dengan serangan jarak
jauh di Palembang dan untuk memaksimalkan dampak psikologis terhadap para
pemimpin perang Jepang pada malam yang sama, Grup Bom 444 menerbangkan misi
3.120 mil udara dan membom Nagasaki, Jepang dari ketinggian 18.000 kaki. Tujuh
B-29 mencapai target utama mereka.
Pada tanggal 5 November 1944,
Komando Pengebom XX meluncurkan 76 B-29 dari Kharagpur, India (sebelah barat
Calcutta) pada serangan pertama USAAF di Singapura. Setiap pesawat
dipersenjatai dengan hanya dua bom 1.000 pound karena jangkauan ekstrim ke
Singapura. Target utama adalah Dermaga Graving King Naval milik mantan Raja
George VI dan target sekunder adalah kilang di Pangkalan Brandan. Lima puluh
tiga B-29 membom Singapura sementara tujuh menyerang Pangkalan Brandan. Pada
tanggal 20 November 1944, Satuan Tugas 67 Philip Vian dari Inggris meluncurkan
Operasi “Robson”, yang pertama dari serangkaian serangan terhadap instalasi
minyak di Sumatra, yang secara kolektif dikenal sebagai Operasi “Outflank”, ini
adalah operasi tempur pertama British Pacific Fleet (BPF) Inggris. Operasi ini
adalah serangkaian serangan difokuskan ke fasilitas penyulingan dan penyimpanan
minyak Kekaisaran Jepang di pulau Sumatera.
Operasi Outflank sendiri untuk di
Sumatera dibagi dalam beberapa operasi yaitu Operasi ROBSON(20 Desember 1944),
Operasi LENTIL (4 Januari 1945), Operasi MERIDIAN I (24 Januari 1945), Operasi
MERIDIAN II (29 Januari 1945). Unit yang terlibat dalam operasi ini mendapat
medali pertempuran “Palembang 1945” karena target utamanya adalah penyulingan
minyak di Plaju , Palembang. Dalam penyerangan Inggris ke Palembang juga
membawa pesawat terbang Boeing B-29 Superfortress terbang diatas sungai Musi,
dimana pesawat jenis pembom raksasa ini pernah mampir ke langit Palembang untuk
menghajar fasilitas pengolahan minyak Jepang di Plajoe atau Plaju dan Sungai
Gerong pada 10 Agustus 1944.
Seminggu kemudian, B-29
Superfortress kembali ke Kota Palembang untuk menjatuhkan ranjau laut di muara
Sungai Musi untuk memblokade lalulintas kapal minyak Jepang keluar masuk
Palembang. Kota Padang dan Palembang menjadi saksi kontribusi Royal Navy pada
masa PDII, dimana Royal Navy melakukan operasi militer secara mandiri tanpa
bantuan dari Amerika Serikat. Dalam catatan sejarah , pasukan Royal Navy
berjaya bukan hanya di Battle of Taranto, melainkan Battle of Padang dan
Palembang.
Royal Navi adalah “dinas senior”
dari dinas angkatan bersenjata, yang merupakan tertua dari tiga cabangnya. Dari
sekitar 1692 sampai Perang Dunia II, Royal Navy merupakan angkatan laut
terbesar dan terkuat di dunia. Angkatan Laut Inggris Raya ini telah menolong
Inggris Raya menjadi sebuah kekuatan militer dominan pada abad ke-19, dan
memegan peran penting dalam mepertahankan kerajaan Inggris.
Meskipun Royal Navy sekarang ini
jauh lebih kecil, ia tetap merupakan angkatan laut terbesar di Uni Eropa, dan
merupakan yang paling canggih teknologinya. Dalam Operation Meridian, Royal
Navy mengirim Task Force 63 dan Task Force 69 ke pesisir barat Sumatera untuk
meluncurkan operasi serangan udara terhadap kilang minyak Plaju. Royal Navy
mengirim F4U Corsair, F6F Hellcat, Grumman TBF Avenger, Supermarine Seafire dan
Fairey Firefly sebagai armada pembom dan pemburu. membom Kilang Minyak di
Plaju, Kota Palembang, Pangkalan Udara Jepang di Kota Jambi, Pabrik Semen
Indaroeng di Padang.
Pada tanggal 4 Januari 1945,
Satuan Tugas 63 Laksamana Muda Vian meluncurkan Operasi “Lentil”, serangan
udara yang sukses di kilang Pangkalan Brandan oleh kapal induk diantaranya HMS
INDOMITABLE, HMS INDEFATIGABLE dikawal oleh kapal penjelajah ringandiantaranya
HMS SUFFOLK, HMS CEYLON, HMS CEGGON dan HMS GRENVILLE Destroyer ke-25, HMS
URANIA, HMS URSA dan HMS UNDINE, dan HMS KEMPENFELT, HMS WHELP dan HMS WAGER.
Maskapai meluncurkan 92 pembom
Avenger dan Fairey “Firefly” dikawal oleh Hellcat dan Corsair. Enam belas
pejuang menyerang lapangan udara terdekat dan 32 Avengers dan 12 Firefly
menembakkan roket yang dikawal oleh 12 pejuang membom kilang. Dua pesawat
hilang, tetapi para kru diselamatkan. Para pejuang menembak jatuh dua pesawat
Jepang dan menghancurkan tujuh lainnya di darat. Kerusakan parah ditimbulkan
pada kilang, tangki penyimpanan minyak, sebuah kapal tanker kecil dibakar dan
dua lokomotif dipukul. Tujuh pesawat musuh ditembak jatuh oleh para pejuang
pengawal.
Pada pukul 06.00, pada 24 Januari
1945, Satuan Tugas 63 Laksamana Muda Vian kembali ke perairan Sumatra, kali ini
dari Palembang, dan meluncurkan Operasi “Meridian One”, sebuah serangan udara
yang sukses di kilang di Pladjoe. Empat puluh tujuh Avengers, 10 Fireflys dan
48 Hellcats, Corsair, dan Supermarine “Seafire” menyerang dan sangat merusak
kilang Pladjoe sementara 24 pesawat menyapu lapangan terbang. Pasukan yang
menyerang dicegat beberapa mil di dekat kilang dan bertemu pasukan Jepang dan
tembakan anti-pesawat.
Empat belas pesawat Jepang
ditembak jatuh dan enam kemungkinan merupakan pembunuhan; 34 hancur dan 25
rusak di tanah. Tujuh pesawat gagal kembali ke kapal induk mereka. Pada malam
25/26 Januari 1945, Komando Pengebom XX, mulai melakukan misi penyelesaian
selama periode bulan purnama. Empat puluh satu B-29 dari Kelompok Pengeboman
444 dan 468 menempatkan enam ladang ranjau dekat ke Singapura. Pada 27/28
Februari 1945, sepuluh B-29 meletakkan 55 ranjau di Selat Johor dekat
Singapura. Pada 28/29 Maret 1945, 22 B-29 juga meletakkan ranjau di dekat
Singapura. Tidak ada pesawat yang hilang selama misi ini.
Pada tanggal 29 Januari 1945,
Satuan Tugas 63 Laksamana Muda Vian kembali ke perairan Palembang dan
meluncurkan Operasi “Meridian Dua”, kali ini targetnya adalah kilang Sungei
Gerong di seberang Sungai Musi dari kilang di Pladjoe. Empat puluh delapan
pembom Avenger, 12 Firefly dan 40 Hellcat, Corsair dan Seafire menyerang dan
merusak kilang Pladjoe, sementara 24 pesawat lagi menyapu lapangan udara di
Lembak dan Tanglangbetoetoe. Mereka menghancurkan bagian-bagian penting dari
kilang termasuk pabrik dan daerah pembangkit listrik. Tujuh pesawat Jepang
ditembak jatuh dan tiga kemungkinan hancur. Sembilan pesawat pengangkut hilang,
tetapi delapan awak berhasil diselamatkan.
Selama operasi pendaratan, 12
Pesawat pembom Jepang berusaha menyerang kapal induk, tetapi serangan itu di
halau oleh pesawat, yang menembak jatuh tujuh orang. Dua serangan terhadap
Palembang adalah serangan terbesar oleh Armada Udara Armada Angkatan Laut
Kerajaan selama Perang Dunia II. Setelah serangan, kilang bisa dikuasai setelah
dua bulan dengan kapasitas yang jauh berkurang selama akhir perang.
Pada 12 Maret 1945, Komando
Pengebom XX meluncurkan tiga kelompok bom B-29 untuk menyerang fasilitas
penyimpanan minyak di pulau-pulau Bukom dan Sebarok di lepas pantai selatan
Singapura dan di Pulau Samboe, beberapa mil di selatan dekat Pulau Batam,
Hindia Belanda. . Empat puluh empat B-29 mencapai daerah target, tetapi karena
cuaca buruk harus menggunakan teknik pemboman buta yang menyebabkan sedikit
kerusakan. Pada malam 29/30 Maret 1945, 29 B-29 menyerang lagi Pulau Bukom dari
ketinggian antara 5.000 dan 7.000 kaki. Serangan ini menghancurkan tujuh dari
49 tangki minyak di pulau itu dan merusak tiga lainnya. Tidak ada B-29 yang
hilang dalam serangan tersebut.
Serangan sekutu disambut dengan
serangan dan pertahanan Jepang di Plaju dan Sungai Gerong yang telah sebelumnya
sudah dipersiapkan, sehingga sekutu tidak bisa menguasai kilang minyak
tersebut. Jepang membangun ground dan air defense network yang bisa dibilang
paling sulit ditembus di Asia Tenggara di Palembang. Jepang rela mendatangkan
perangkat Early Warning Radar jarak jauh yang sanggup menyorot hingga Singapore
untuk dipasang di Palembang tak hanya sampai disitu, Jepang membangun fasilitas
antena radio jarak jauh UHF/VHF di Bukittinggi sebagai bagian dari Early
Warning Network
Perangkat Radio UHF/VHF jarak
Jauh Jepang di Bukittinggi berfungsi menghubungi pangkalan udara Jepang di
Singapore, Bandung, Batavia jika terjadi penyerangan pihak sekutu. Sedangkan di
Bukittinggi menjadi ibukota administrasi IJA 16th Army, sebagai bagian integral
dari Palembang, Air Defense Network yang dilengkapi long range radio
communication untuk menghubungi bala bantuan dari wilayah administrasi lain di
Singapore, Malaya, dan Jawa termasuk membangun bungker, titik-titik pertahanan
di sejumlah titik di kota Palembang dan sekitarnya.
Jepang juga mendatangkan banyak
meriam anti pesawat kaliber ringan hingga berat, memasang puluhan barrage
balloon untuk menghalau bomber musuh yang terbang rendah semua demi
mempertahankan Kilang Minyak Plaju dan Sungai Gerong di Kota Palembang. Selain
membangun ground-based defense Palembang, tentu saja tidak cukup, Jepang ingin
melindungi fasilitas yang menunjang 3/4 seluruh bahan bakar yang dibutuhkan
pesawat terbang Jepang di seantero asia pasifik ada di Palembang.
Apakah 270 unit meriam
antipesawat ringan hingga berat, lampu sorot jarak jauh, barrage balloon, Early
Warning Radar, UHF/VHF Radio Antenna sudah cukup? tentu tidak! Jepang menaruh
juga satuan udara pemburu dan pencegat, satuan udara intai, hingga pembom dan
transport. Jepang juga membangun layered air defense network, dengan inti
pertahanan udara berada di 9 skuadron pesawat tempur, pembom, intai, transport
Jepang yang disebar di empat lanud di sekitar kota Palembang , Lahat Airfield ,
Lembak Airfield, Talang betoetoe Airfield dan Martapura Airfield dimana semua
keempat lanud di sekitaran Palembang menjadi elemen krusial bagi 9th Air Army,
IJA yang menjadikan Palembang sebagai markas dan memiliki tugas utama
melindungi fasilitas kilang minyak Palembang hingga perang berakhir pada tahun
1945.
Untuk fasilitas tempur lainnya
Jepang menyiapkan, 21st Hiko Sentai / 21st Squadron IJA berpangkalan di Lanud
Pusat Talangbetoetoe (Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II saat ini ) dilengkapi
Kawasaki Ki-45KAI-b yang dipersenjatai meriam otomatis kaliber 37mm dan 20mm
untuk kemudahan menembak jatuh pembom berat yang menyerang Palembang. Selain
itu ada 64th Sentai / 64th Air Regiment IJA yang bermarkas di Lanud Betung,
dilengkapi dengan Nakajima Ki-43-III Hayabusa, dipersenjatai 2 meriam otomatis
kaliber 20mm. Kemudian ada, satuan udara Jepang pelindung Palembang pada bulan
Agustus 1945 : 21st Hiko Sentai, Ki-45KAI 26th Hiko Sentai, Ki-43 33rd Hiko
Sentai, Ki-43 64th Sentai, Ki-43 87th Sentai, Ki-44, Ki-84 58th Hiko Sentai 1st
Field Reserve Sentai 24th Independent Sentai 71st Independent Sentai, selain
1st Field Reserve Sentai, 24th dan 71th independent Sentai, seluruh satuan
udara Jepang di Palembang dan sekitarnya ada satuan udara Interceptor, dengan
tujuan hanya satu, mencegah pesawat lawan bisa memasuki wilayah udara
Palembang.
Beberapa sumber mengklaim bahwa
selain di Lanud Bugis di Malang, Jepang menempatkan beberapa unit pesawat
tempur teranyar Nakajima Ki-84 Hayate (“Frank”) di Palembang sebagai pesawat
tempur terbaik yang dapat dikirim dan ditempatkan untuk mempertahankan kota
Palembang. Selain skuadron bomber-destroyer dan interceptor di empat lanud
utama di Palembang, Radio UHF/VHF di Kota Bukittinggi dapat meminta bantuan
udara dari 25th Army di Batavia, Bandung, dan dari wilayah Malaya &
Singapore, total 300an pesawat tambahan dapat dipanggil dari Bukittinggi. Apalagi
Palembang pernah menjadi sarang bagi Pesawat tempur terbaik Jepang di seluruh
perang pasifik.
0 Komentar