Nasionalisme berasal dari kata
nation yang berarti bangsa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ali dkk.,
1994:89), kata bangsa memiliki arti: (1) kesatuan orang yang bersamaan asal
keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya serta berpemerintahan sendiri; (2)
golongan manusia, binatang, atau tumbuh-tumbuhan yang mempunyai asal-usul yang
sama dan sifat khas yang sama atau bersamaan; dan (3) kumpulan manusia yang
biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan
yang biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Beberapa makna kata
bangsa diatas menunjukkan arti bahwa bangsa adalah kesatuan yang timbul dari
kesamaan keturunan, budaya, pemerintahan, dan tempat. Pengertian ini berkaitan
dengan arti kata suku yang dalam kamus yang sama diartikan sebagai golongan
orang-orang (keluarga) yang seturunan; golongan bangsa sebagai bagian dari
bangsa yang besar (ibid, 1994:970). Beberapa suku atau ras dapat menjadi
pembentuk sebuah bangsa dengan syarat ada kehendak untuk bersatu yang
diwujudkan dalam pembentukan pemerintahan yang ditaati bersama.
Kata bangsa mempunyai dua
pengertian: pengertian antropologis-sosiologis dan pengertian politis. Menurut
pengertian antropologis-sosiologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang
merupakan persekutuan-hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota
masyarakat tersebut merasa satu kesatuan suku, bahasa, agama, sejarah, dan adat
istiadat. Pengertian ini memungkinkan adanya beberapa bangsa dalam sebuah
negara dan—sebaliknya—satu bangsa tersebar pada lebih dari satu negara. Kasus
pertama terjadi pada negara yang memiliki beragam suku bangsa, seperti Amerika
Serikat yang menaungi beragam bangsa yang berbeda. Kasus kedua adalah
sebagaimana yang terjadi pada bangsa Korea yang terpecah menjadi dua negara,
Korea Utara dan Korea Selatan. Sementara dalam pengertian politis, bangsa adalah
masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan
negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam. Bangsa
(nation) dalam pengertian politis inilah yang kemudian menjadi pokok pembahasan
nasionalisme (Nur dalam Yatim, 2001:57—58).
Istilah nasionalisme yang telah
diserap ke dalam bahasa Indonesia memiliki dua pengertian: paham (ajaran) untuk
mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotan dalam suatu bangsa
yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan
menngabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu (Op.
cit, 1994:684). Dengan demikian, nasionalisme berarti menyatakan keunggulan
suatu afinitas kelompok yang didasarkan atas kesamaan bahasa, budaya, dan
wilayah. Istilah nasionalis dan nasional, yang berasal dari bahasa Latin yang
berarti “lahir di”, kadangkala tumpang tindih dengan istilah yang berasal dari
bahasa Yunani, etnik. Namun istilah yang disebut terakhir ini biasanya
digunakan untuk menunjuk kepada kultur, bahasa, dan keturunan di luar konteks
politik (Riff, 1995: 193—194).
Disamping definisi bahasa diatas
terdapat beberapa rumusan lain mengenai nasionalisme, di antaranya (Yatim,
2001:58):
1.
Huszer dan Stevenson, Nasionalisme
adalah yang menentukan bangsa mempunyai rasa cinta secara alami kepada tanah
airnya.
2.
L. Stoddard, Nasionalisme
adalah suatu keadaan jiwa dan suatu kepercayaan, yang dianut oleh sejumlah
besar individu sehingga mereka membentuk suatu kebangsaan. Nasionalisme adalah
rasa kebersamaan segolongan sebagai suatu bangsa.
3.
Hans Kohn, Nasionalisme
menyatakan bahwa negara kebangsaan adalah cita-cita dan satu-satunya bentuk sah
dari organisasi politik, dan bahwa bangsa adalah sumber dari semua tenaga
kebudayaan kreatif dan kesejahteraan ekonomi.
Beberapa definisi diatas memberi
simpulan bahwa nasionalisme adalah kecintaan alamiah terhadap tanah air,
kesadaran yang mendorong untuk membentuk kedaulatan dan kesepakatan untuk
membentuk negara berdasar kebangsaan yang disepakati dan dijadikan sebagai
pijakan pertama dan tujuan dalam menjalani kegiatan kebudayaan dan ekonomi.
Kesadaran yang mendorong sekelompok manusia untuk menyatu dan bertindak sesuai
dengan kesatuan budaya (nasionalisme) oleh Ernest Gellner dinilai bukanlah
kebangkitan kesadaran diri suatu bangsa namun ia adalah pembikinan
bangsa-bangsa yang sebenarnya tidak ada (Gellner dalam Anderson, 2002:9).
Dengan gaya berpikir
antropologis, Anderson (2002:8—11) menawarkan pandangan yang lebih positif
tentang nasionalisme, ia menyatakan bahwa bangsa atau nation adalah komunitas
politis yang dibayangkan (imagined) sebagai sesuatu yang bersifat terbatas
secara inheren sekaligus berkedaulatan. Lebih jauh dia memaparkan bahwa bangsa
disebut komunitas karena ia sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang
masuk-mendalam dan melebar-mendatar, sekalipun ketidakadilan dan penghisapan
hampir selalu ada dalam setiap bangsa. Bangsa disebut sebagai komunitas
terbayang (imagined community) karena para anggota bangsa terkecil tidak
mengenal sebagian besar anggota lain, bahkan mungkin tidak pernah mendengar
tentang mereka. Ia dibayangkan sebagai sesuatu yang terbatas karena
bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun memiliki garis-garis batas yang pasti
dan jelas meski terkadang bersifat elastis. Di luar garis batas itu adalah
bangsa lain yang berbeda dengan mereka.
Dalam sejarah, nasionalisme
bermula dari benua Eropa sekitar abad pertengahan. Kesadaran berbangsa—dalam
pengertian nation-state—dipicu oleh gerakan Reformasi Protestan yang dipelopori
oleh Martin Luther di Jerman (Dault, 2005:4). Saat itu, Luther yang menentang
Gereja Katolik Roma menerjemahkan Perjanjian Baru kedalam bahasa Jerman dengan
menggunakan gaya bahasa yang memukau dan kemudian merangsang rasa kebangsaan Jerman.
Terjemahan Injil membuka luas penafsiran pribadi yang sebelumnya merupakan hak
eksklusif bagi mereka yang menguasai bahasa Latin, seperti para pastor, uskup,
dan kardinal. Implikasi yang sedikit demi sedikit muncul adalah kesadaran
tentang bangsa dan kebangsaan yang memiliki identitas sendiri. Bahasa Jerman
yang digunakan Luther untuk menerjemahkan Injil mengurangi dan secara bertahap
menghilangkan pengaruh bahasa Latin yang saat itu merupakan bahasa ilmiah dari
kesadaran masyarakat Jerman. Mesin cetak yang ditemukan oleh Johann Gothenberg
turut mempercepat penyebaran kesadaran bangsa dan kebangsaan. Hal ini penting
dicatat mengingat pada sekitar tahun yang sama (1518—1521) Majapahit mengalami
kehancuran yang disebabkan oleh pemberontakan daerah-daerah dan kemerosotan
internal kerajaan. Majapahit pada masanya merupakan kerajaan besar yang
menguasai sebagian besar wilayah yang saat itu disebut Nusantara. Namun
kebesaran ini tidak memunculkan kesadaran berbangsa, dalam arti modern. Hal itu
disebabkan tidak adanya alat percetakan yang mengakselerasi penyadaran massal
seperti yang terjadi di Jerman.
Namun demikian, nasionalisme
Eropa yang pada kelahirannya menghasilkan deklarasi hak-hak manusia berubah
menjadi kebijakan yang didasarkan atas kekuatan dan self interest dan bukan
atas kemanusiaan (Rasyidi dalam Yatim, 2001:63). Dalam perkembangannya nasionalisme
Eropa berpindah haluan menjadi persaingan fanatisme nasional antar
bangsa-bangsa Eropa yang melahirkan penjajahan terhadap negeri-negeri yang saat
itu belum memiliki identitas kebangsaan (nasionalisme) di benua Asia, Afrika,
dan Amerika Latin. Fakta ini merujuk pada dua hal: (1) ledakan ekonomi Eropa
pada masa itu yang berakibat pada melimpahnya hasil produksi dan (2) pandangan
pemikir Italia, Nicolo Machiaveli, yang menganjurkan seorang penguasa untuk
melakukan apapun demi menjaga eksistensi kekuasaannya. Dia menulis: “Bila
ini merupakan masalah yang mutlak mengenai kesejahteraan bangsa kita,maka
janganlah kita menghiraukan keadilan atau ketidakadilan, kerahiman dan
ketidakrahiman, pujian atau penghinaan, akan tetapi dengan menyisihkan semuanya
menggunakan siasat apa saja yang menyelamatkan dan memelihara hidup negara kita
itu” (Kohn dalam Yatim, 2001:65).
Nasionalisme yang pada awalnya
mementingkan hak-hak asasi manusia pada tahap selanjutnya menganggap kekuasaan
kolektif yang terwujud dalam negara lebih penting daripada kemerdekaan
individual. Pandangan yang menjadikan negara sebagai pusat merupakan pandangan
beberapa beberapa pemikir Eropa saat itu, diantaranya Hegel. Dia berpendapat
bahwa kepentingan negara didahulukan dalam hubungan negara-masyarakat, karena
ia merupakan kepentingan obyektif sementara kepentingan masing-masing individu
adalah kepentingan subyektif. Negara adalah ideal (geist) yang diobyektifikasi,
dan karenanya, individu hanya dapat menjadi sesuatu yang obyektif melalui keanggotaannya
dalam negara. Lebih jauh dia menyatakan bahwa negara memegang monopoli untuk
menentukan apa yang benar dan salah mengenai hakikat negara, menentukan apa
yang moral dan yang bukan moral, serta apa yang baik dan apa yang destruktif
(Simandjuntak, 2003:166). Hal ini melahirkan kecenderungan nasionalisme yang
terlalu mementingkan tanah air (patriotisme yang mengarah pada chauvinisme),
yang mendorong masyarakat Eropa melakukan ekspansi-ekspansi ke wilayah dunia
lain. Absolutisme negara dihadapan rakyat memungkinkan adanya pemimpin
totaliter, yang merupakan bentuk ideal negara yang dicitakan Hegel, sebuah
monarki (ibid, 2003:224). Totaliterianisme yang dianjurkan oleh filsafat negara
Hegel dapat menggiring sebuah pemerintahan menjadi pemerintahan yang fasis.
Fasisme adalah doktrin yang mengajarkan kepatuhan mutlak terhadap perintah
dalam semua aspek kehidupan nasional. Dalam sejarahnya, fasisme terkait erat
dengan rasisme yang mengunggulkan sebagian ras (suku) atas sebagian yang lain.
Menurut Hugh Purcell (2000:11)
nasionalisme dan rasisme merupakan gambaran paling terkenal dari fasisme pada
tahun 1930-an. Rasisme memiliki kaitan erat dengan nasionalisme. Keduanya
berbeda pada penekanan. Rasisme menekankan superioritas suku dan nasionalisme
menekankan keunggulan bangsa (komunitas terbayang yang lebih besar dari suku).
Manusia nasionalis adalah seseorang dengan kebanggaan terhadap bangsanya yang
kadang diungkapkan dengan cara berlebihan. Nasionalisme dan rasisme memiliki
keserupaan dalam hal pengunggulan dan kebanggaan terhadap sesuatu yang secara
alamiah melekat pada setiap manusia. Yang pertama kebanggaan terhadap
bangsa—sistem pemerintahan, suku, dan budaya. Yang kedua kebanggaan terhadap
suku.
Di Indonesia, nasionalisme
melahirkan Pancasila sebagai ideologi negara. Perumusan Pancasila sebagai
ideologi negara terjadi dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia). Di dalam badan inilah Soekarno mencetuskan ide yang
merupakan perkembangan dari pemikirannya tentang persatuan tiga aliran besar:
Nasionalisme, Islam, dan Marxis. Pemahamannya tentang tiga hal ini berbeda
dengan pemahaman orang lain yang mengandaikan ketiganya tidak dapat disatukan.
Dalam sebuah artikel yang ditulisnya dia menyatakan, “Saya tetap nasionalis,
tetap Islam, tetap Marxis, sintese dari tiga hal inilah memenuhi saya punya
dada. Satu sintese yang menurut anggapan saya sendiri adalah sintese yang
geweldig” (Soekarno dalam Yatim, 2001:155). Dalam artikel itu, dia juga
menjelaskan bahwa Islam telah menebalkan rasa dan haluan nasionalisme.
Cita-cita Islam untuk mewujudkan persaudaraan umat manusia dinilai Soekarno
tidak bertentangan dengan konsep nasionalismenya. Dan sesuai dengan konsep
Islam, dia menolak bentuk nasionalisme yang sempit dan mengarah pada chauvinisme.
Dia menambahkan, Islam juga tidak bertentangan dengan Marxisme, karena Marxisme
hanya satu metode untuk memecahkan persoalan-persoalan ekonomi, sejarah, dan
sosial.
Soekarno menghendaki agar dalam
negara Indonesia agama dan negara dipisahkan. Pemisahan itu tidak berarti
menghilangkan kemungkinan untuk memberlakukan hukum-hukum Islam dalam negara,
karena bila anggota parlemen sebagian besar orang-orang yang berjiwa Islam,
mereka dapat mengusulkan dan memasukkan peraturan agama dalam undang-undang
negara. Itulah cita ideal negara Islam menurut Soekarno (ibid, 2001:156).
Dengan dasar pemikiran itulah, Soekarno mengusulkan lima asas untuk negara
Indonesia merdeka. Kelima asas itu adalah: (1) Kebangsaan Indonesia, (2)
Internasionalisme atau peri kemanusiaan, (3) Mufakat atau demokrasi, (4)
Kesejahteraan sosial, dan (5) Ketuhanan. Usulan ini menimbulkan perbedaan
pendapat antara nasionalis sekuler dan nasionalis Islam dan mendorong
pembentukan sub panitia yang terdiri dari empat orang wakil nasionalis sekuler
dan empat orang wakil nasionalis Islam serta Soekarno sebagai ketua sekaligus
penengah. Pertemuan sub panitia ini menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal
dengan Piagam Jakarta. Usulan Soekarno menjadi inti dari Piagam Jakarta dengan
beberapa perubahan: urutan kelima sila dan penambahan anak kalimat pada sila
ketuhanan. Tambahan anak kalimat yang kemudian diperdebatkan itu adalah “Dengan
kewajiban melaksanakan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Pada saat itu,
Soekarno dan Agus Salim berusaha mengakhiri diskusi tentang Piagam Jakarta
dalam bentuk yang telah disepakati bersama. Namun setelah Jepang mengalami
kekalahan dan BPUPKI ditingkatkan stasusnya menjadi Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), beberapa anggota BPUPKI—khususnya dari kalangan
Islam—yang aktif dan bersuara lantang tidak muncul dalam PPKI. Kondisi tersebut
memberi kesempatan kepada para nasionalis sekuler untuk merubah Piagam Jakarta
yang merupakan hasil keputusan BPUPKI. Usaha yang dilakukan untuk meyakinkan
pihak nasionalis Islam bahwa hanya konstitusi sekuler yang bisa diterima
mayoritas rakyat berhasil. Akhirnya anak kalimat yang tercantum dalam Piagam
Jakarta diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang kemudian menjadi bentuk
akhir Pancasila—dasar bagi nasionalisme Indonesia yang sekuler religius.
0 Komentar