Kerajaan Inderagiri merupakan sebuah Kerajaan
Melayu yang pernah berdiri, sekarang dengan wilayahnya berada padaKabupaten
Indragiri Hilir, dan Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau, Indonesia. Sebelumnya
kerajaan ini merupakan bawahan (vazal) Kerajaan Pagaruyung dan sekaligus
sebagai kawasan pelabuhan. Kemudian kerajaan ini diperebutkan oleh Kesultanan
Jambi, Kesultanan Siak, dan Kesultanan Aceh.
A.
Awal Berdirinya Kerajaan
Indragiri
Cikal-bakal
berdirinya Kesultanan Indragiri tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Kerajaan
Keritang. Nama Keritang diperkirakan berasal dari istilah “akar itang” yang
diucapkan dengan lafal “keritang”. Sementara Itang adalah sejenis
tumbuh-tumbuhan yang banyak terdapat di sepanjang anak Sungai Gangsal bagian
hulu yang menjalar di sepanjang tebing-tebing sungai. Sungai Gangsal mengaliri
wilayah Kota Baru, ibu kota Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir,
Provinsi Riau. Selain pemaknaan di atas, ada pula yang menyebut bahwa nama
Keritang identik dengan istilah “Kitang”, yaitu sejenis siput yang berhabitat
di hulu Sungai Gangsal.
Asal-muasal Kerajaan
Kelintang berawal dari keruntuhan Kerajaan Sriwjaya yang berpusat di Palembang.
Pada akhir abad ke-13, Kerajaan Sriwijaya mulai rapuh karena adanya serangan
dari luar, antara lain dari Kerajaan Cola (India) yang menyerbu dari arah utara
dan kemudian ekspedisi Majapahit dari sebelah timur. Namun, dalam catatan
perjalanan Marcopolo yang ditulis pada 1292, nama Kerajaan Sriwijaya tidak
disebut-sebut lagi. Hal ini sepertinya menunjukkan bahwa pada masa itu Sriwijaya
sudah terpecah-pecah. Salah satunya kerajaan yang menjadi pecahan Sriwijaya
adalah Kerajaan Keritang yang kemudian menjadi Kesultanan Indragiri. Sama
seperti Sriwijaya, Keritang adalah kerajaan yang bercorak Buddha.
B.
Perkembangan Kerajaan
Indragiri
1.
Dari Keritang ke Indragiri
Berdasarkan catatan
dalam kitab Negarakrtagama karya Mpu Prapanca, nama Indragiri disebut dengan
nama Keritang. Oleh karena Keritang terletak di wilayah yang kemudian dikenal
dengan nama Indragiri, maka diperkirakan bahwa Kerajaan Keritang inilah yang
kelak berkembang menjadi Kesultanan Indragiri. Mengenai nama Indragiri sendiri,
ada ahli-ahli sejarah dari Eropa yang pernah menyebutnya. Kamus A Malay-English
Dictionary yang disusun Richard James Wilkinson (1867-1941), mencantumkan nama
Indragiri. Dalam kamus yang diterbitkan pada 1932 ini, Indragiri diartikan
sebagai Indra‘s Mountain: an East Coast Sumatra Sultanate on a river of the
same name atau “Gunung Tempat Dewa Indra: Suatu kesultanan di Pesisir Timur
Sumatra dekat sungai yang bernama sama (nama kerajaan dan sungai adalah sama,
yaitu Indragiri)”.
Dalam Nieuw
Malaeisch-Nedelandsch Woordenboek – Met Arabisch Karakter, kamus susunan
Hillebrads Cornelius Klinkert (1829-1913) terbitan tahun 1892, nama Indragiri
diartikan sebagai nama sebuah kerajaan di Pantai Timur Pulau Sumatra dan nama
sungai yang mengaliri kerajaan itu. Ada pula yang mengatakan bahwa Indragiri berasal dari
bahasa Sanskerta yaitu “Indra” yang berarti mahligai dan “Giri” yang berarti
kedudukan yang tinggi atau negeri, sehingga makna Indragiri adalah Kerajaan
Negeri Mahligai.
Raja pertama Keritang
adalah Raja Kecik Mambang atau Raja Merlang (1298-1337) yang berturut-turut
dilanjutkan oleh Naja Singa I (1337-1400) sebagai Raja Keritang ke-2 kemudian
Raja Merlang II (1400-1473). Pada era berikutnya, pengaruh Islam sudah mulai
masuk ke wilayah kerajaan ini. Raja yang selanjutnya, yakni Nara Singa II
(1473- 1508) diketahui telah memeluk agama Islam. Nara Singa II, Raja Keritang
yang ke-4, mendirikan Kesultanan Indragiri sejak tahun 1508 dan berkuasa hingga
tahun 1532 sebagai sultan pertama Indragiri.
Kerajaan Keritang
sempat menjadi wilayah taklukan Kerajaan Majapahit. Seiring Islam masuk ke
nusantara, wilayah Keritang dikendalikan oleh Kesultanan Malaka. Ketika masih
di bawah kuasa Majapahit, Raja Merlang diperkenankan untuk tetap berada di
tengah-tengah rakyatnya. Akan tetapi, setelah Keritang dikuasai Kesultanan
Malaka, Raja Merlang tidak diperbolehkan lagi tetap menetap di Keritang,
melainkan dibawa ke Malaka. Kebijakan ini sangat menguntungkan bagi Malaka
karena dengan demikian Keritang lebih mudah diawasi.
Dominasi Malaka
terhadap Keritang semakin kuat ketika Raja Merlang dikawinkan dengan Putri
Bakal, anak perempuan Sultan Mansyur Syah, pemimpin Kesultanan Malaka. Ikatan
perkawinan itu, di samping mengokohkan kedudukan Sultan Malaka di daerah
jajahan, dilakukan juga dengan harapan agar Raja Merlang betah tinggal di
Malaka. Dari perkawinan dengan Putri Malaka itu, Raja Merlang memperoleh putra
yang diberi nama Nara Singa (1337-1400) dan dibesarkan di lingkungan Kesultanan
Malaka. Ketika Kesultanan Malaka dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah I
(1488-1511), Nara Singa diambil menantu oleh Sultan. Ketika Nara Singa
dinobatkan sebagai Raja Keritang, dia tetap tidak diperbolehkan tinggal di
Keritang. Demikian pula yang terjadi kepada raja-raja penerus tahta Kerajaan
Keritang yang selanjutnya, yakni Raja Merlang II hingga kemudian Nara Singa II
(1473- 1508).
Selama keluarga
Kerajaan Keritang berada di Malaka, pemerintahan dijalankan oleh Datuk Patih dan
Datuk Temenggung Kuning, serta beberapa pejabat Kerajaan Keritang lainnya.
Meski pemerintahan Kerajaan Keritang dapat tetap berjalan, namun seringkali
terjadi perselisihan antara Datuk Patih dan Datuk Temenggung Kuning. Masalah
terpelik yang terjadi di antara kedua menteri itu adalah soal agama yang
merembet ke ranah politik. Datuk Temenggung Kuning telah memeluk agama Islam,
sementara Datuk Patih masih menganut kepercayaan lama. Persoalannya adalah,
apabila ada orang yang berada di bawah kuasa Datuk Patih memeluk Islam, maka
orang itu dipersilahkan untuk pindah ke daerah yang dipimpin Datuk Temenggung
Kuning. Akibatnya, semakin lama orang-orang yang berada di bawah kekuasaan
Datuk Patih kian berkurang karena semakin banyak pula orang yang memeluk Islam.
Konflik internal di
dalam Kerajaan Keritang, ditambah dengan perlakuan yang tidak adil dari
orang-orang Malaka terhadap rakyat Keritang, membuat Nara Singa II resah dan
berkeinginan untuk kembali ke kerajaannya. Dengan alasan mencari hiburan
bersama istri tercintanya, Nara Singa II akhirnya diperbolehkan kembali ke
Keritang. Nara Singa II tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan segera menyusun
rencana dengan para pengikutnya. Ketika sudah berhasil meninggalkan Malaka,
terdengarlah kabar bahwa Nara Singa II diculik. Kabar penculikan ini sengaja
dihembuskan sebagai bagian dari taktik agar Nara Singa II dapat melepaskan diri
dari Malaka.
Selanjutnya, Nara
Singa II bersama para pengikutnya memindahkan pusat kerajaan dari Keritang ke
Pekantua, tidak jauh dari Sungai Indragiri. Perpindahan tersebut terkait dengan
kepercayaan bahwa suatu tempat yang telah ditinggalkan tidak baik untuk
dijadikan pusat pemerintahan. Keritang merupakan kota yang diambil-alih Malaka
sebagai daerah jajahan, maka menurut keyakinan magic religious, kota atau
kraton yang telah dikalahkan itu harus ditinggalkan.
Nara Singa II akhirnya dinobatkan menjadi pemimpin di Pekantua dan inilah tanda
bahwa Kesultanan Indragiri telah berdiri. Sebagai sultan pertama Kesultanan
Indragiri, gelar untuk Nara Singa II adalah Maulana Paduka Sri Sultan Alauddin
Iskandar Syah Johan. Gelar ini menandakan bahwa unsur Islam sudah masuk dan
menebar pengaruh di Indragiri dan sekitarnya.
Pada era pemerintahan
Sultan Indragiri pertama ini, ibu kota kerajaan dipindahkan lagi, yakni ke
Mudoyan, yang dikenal juga dengan nama Kota Lama, yang terletak di sebelah hulu
Pekantua. Jarak antara Pekantua dengan Kota Lama kurang lebih 50 kilometer
lewat jalan darat. Perpindahan pusat pemerintahan Kesultanan Indragiri tersebut
disebabkan karena kurang amannya Pekantua dari kemungkinan serangan Portugis
dan ancaman gerombolan perompak. Belum diketahui kapan pastinya waktu
pemindahan itu namun yang jelas, waktu pemindahan itu paling lambat dilakukan
pada 1532 karena di tahun itu Maulana Paduka Sri Sultan Alauddin Iskandar Syah
Johan atau Nara Singa II meninggal dunia dan dimakamkan di Kota Lama. Pada
1765, pusat pemerintahan Kesultanan Indragiri berpindah lagi, kali ini ke Raja
Pura atau Japura.
Sejak 5 Januari 1815,
yakni pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim (1784-1815), Sultan Indragiri
ke-15, ibu kota Indragiri pindah ke Rengat. Beberapa peneliti menduga, selain
adanya tekanan dari kolonialis Belanda, pemindahan ibu kota Kesultanan
Indragiri dari Japura ke Rengat juga dikarenakan tersedianya biaya untuk
pembangunan istana baru yang lebih megah.
Sultan pertama
Indragiri, Alauddin Iskandar Syah Johan, bertahta sampai akhir hayatnya yakni
tahun 1532. Setelah itu, pucuk pimpinan Kesultanan Indragiri berturut
dilanjutkan oleh penerus Alauddin Iskandar Syah Johan, yaitu Sultan Indragiri
ke-2 Sultan Usuluddin Hasansyah (1532-1557), kemudian Sultan Ahmad dengan gelar
Sultan Mohammadsyah (1557-1599) sebagai pemimpin Kesultanan Indragiri yang
ke-3, hingga Sultan Jamaluddin Kramatsyah (1599-1658). Pada era pemerintahan
pemimpin ke-4 Kesultanan Indragiri inilah kaum imperialis Eropa datang dan
lantas menanamkan pengaruhnya di Indragiri.
2.
Kesultanan Indragiri pada
Era Kolonial Belanda
Tahun 1602, kapal
milik bangsa Belanda yang dipimpin oleh nahkoda Heemskerck berlabuh di Johor
dengan tujuan awal untuk berdagang. Pada saat itu, Kerajaan Johor-Riau yang
dipimpin Sultan Alauddin Riayat Syah II sedang menghadapi sejumlah peperangan,
antara lain dengan Portugis dan Aceh serta Patani. Kerajaan Johor-Riau kemudian
mengajak Belanda bekerjasama untuk melawan musuh-musuhnya itu.
Sebagai strategi untuk
meluaskan pengaruh dan jejaring niaganya di Selat Malaka, kompeni Belanda
mendirikan loji di Indragiri pada 1615. Sultan Jamaluddin Kramatsyah
(1599-1658) sebagai penguasa Kesultanan Indragiri saat itu mengizinkan
aktivitas dagang Belanda di wilayahnya dengan harapan akan dapat meningkatkan
perdagangan di Indragiri. Namun, harapan Sultan Jamaluddin Kramatsyah dan
Belanda tidak berjalan mulus karena adanya persaingan dari pedagang-pedagang
Cina, Portugis, dan Inggris. Sementara Belanda sendiri kurang mampu
berkonsentrasi menangani perdagangannya di Indragiri karena sedang memusatkan
perhatiannya untuk Batavia. Akibatnya, pada 1622 kantor dagang atau loji Belanda
di Indragiri terpaksa ditutup.
Karena kerjasama
dengan Belanda tidak berjalan lagi, Indragiri mengalihkan jalinan niaganya ke
Minangkabau. Namun, hubungan itu menimbulkan polemik dengan Kesultanan Aceh
Darussalam. Pasalnya, hasil lada dan emas dari Minangkabau yang sebelumnya
dibawa ke Padang, Tiku Pariaman, dan Bandar Sepuluh, yang berada di bawah
pengaruh Aceh, menjadi berkurang. Karena merasa tersaingi dalam perdagangan,
Aceh Darussalam menyerang Indragiri dan Johor pada 1623. Selain itu, Aceh juga
menyerbu wilayah lainnya yang dianggap merugikan perdagangannya. Penyerangan
Aceh ke Indragiri, Aru, Pahang, Kedah, Perak, dan Johor dilakukan dalam waktu
yang berdekatan.
Tujuan utama
penyerbuan Aceh Darussalam ke Indragiri adalah untuk memutuskan hubungan
perdagangan lada antara Kesultanan Indragiri dengan Minangkabau. Ketika
akhirnya Aceh Darussalam dapat mewujudkan tujuannya itu, yaitu kira-kira awal
tahun 1624, kiriman lada dari Minangkabau ke Indragiri tiap bulan menurun
drastis. Bagi daerah-daerah yang tunduk di bawah kekuasaan Aceh, Sultan
Iskandar Muda (1607-1636), penguasa Kesultanan Aceh Darussalam, menuntut 15%
dari produksi emas dan lada sebagai upeti, sedangkan sisanya harus dijual
sesuai dengan harga yang ditetapkan Aceh.
Karena perdagangan yang
semakin terdesak akibat pendudukan Aceh Darussalam, Indragiri kemudian mencoba
menjalin hubungan kembali dengan Belanda. Sultan Jamaluddin Kramatsyah mengirim
surat kepada Antonio van Dieman, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, pada
1641. Dalam suratnya, Sultan Jamaluddin Kramatsyah meminta kepada Belanda
supaya membuka kembali kantor dagang di Indragiri. Setelah beberapa kali
berusaha, keinginan Sultan Jamaluddin Kramatsyah terpenuhi dengan kedatangan
Joan van Wesenhage, utusan Belanda dari Batavia, ke Indragiri.
Selanjutnya, pada masa
pemerintahan Sultan Jamaluddin Sulemansyah (1658-1669) sebagai Sultan Indragiri
ke-5, disepakati perjanjian dengan Belanda tentang hubungan perdagangan antara
kedua belah pihak. Perjanjian yang ditandatangani oleh Sultan Jamaluddin
Sulemansyah dan Joan van Wesenhage tersebut dikenal dengan nama Renovatie van
het Contract van 27 October 1664, sesuai dengan tanggal penandatanganan hasil
perundingan. Isi dari perjanjian itu antara lain:
a.
Belanda diberi hak
memonopoli dalam perdagangan lada; dan
b.
Bea murah bagi masuk dan
keluarnya barang-barang milik Belanda dalam wilayah kekuasaan Kesultanan
Indragiri.
Berdasarkan perjanjian
tersebut, Belanda diperbolehkan membangun kembali kantor dagangnya di Indragiri
di Kuala Cenaku. Namun, pada 1679, kantor dagang Belanda di Kuala Cenaku
diserang oleh 100 orang Banten di bawah pimpinan Pangeran Arja Suria dan Ratu
Bagus Abdul Kadir. Sejak itu, kantor dagang Belanda di Indragiri tersebut
kembali ditutup.
Hubungan antara
Belanda dengan Kesultanan Indragiri pada era pemerintahan kolonial Hindia
Belanda mengalami pasang surut, kendati kerugian lebih sering diderita oleh
pihak Kesultanan Indragiri. Misalnya ketika Indragiri di bawah pemerintahan
Sultan Ibrahim (1784-1815), Belanda mulai campur tangan dalam urusan internal
kerajaan dengan mengangkat Sultan Muda yang berkedudukan di Peranap dengan
batas wilayah dari Hilir hingga Japura.
C.
Kemunduruan Kerajaan
Indragiri
Pada masa kepemimpinan
Sultan Indragiri yang terakhir, Sultan Mahmudsyah (1912-1963), posisi
Kesultanan Indragiri sebagai kerajaan yang berdaulat semakin terjepit. Sultan
tidak mampu berbuat banyak menghadapi tekanan Belanda. Di samping itu, Belanda
juga melarang rakyat Indragiri mengadakan rapat atau berkumpul lebih dari tiga
orang, kecuali acara dakwah agama, itu pun dengan pengawasan ketat. Apabila isi
ceramah dalam dakwah tersebut dianggap terlalu berani, maka orang-orang yang
terkait dengan acara dakwah itu akan ditangkap dan diproses menurut hukum yang
diberlakukan oleh pemerintah kolonial.
Ketika Jakarta
menyerukan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, kabar itu segera sampai
ke Indragiri, namun Sultan Mahmudsyah belum berani mengambil sikap karena
tentara Jepang masih banyak yang berkeliaran. Sultan berhati-hati dalam
mengambil keputusan dan menunggu reaksi rakyat Indragiri. Tetapi, para pemuda
di Indragiri telah bersikap dan berani menyampaikan berita proklamasi kepada
rakyat banyak. Sultan sendiri sudah mendengar bahwa para pemuda telah
mengadakan pertemuan secara rahasia untuk membicarakan hal tersebut.
Selanjutnya, kaum
pemuda menghadap Sultan Mahmudsyah untuk menanyakan sikap Sultan terhadap
kemerdekaan Indonesia. Sultan menjawab tegas bahwa Kesultanan Indragiri sangat
mendukung proklamasi kemerdekaan dan merestui gerakan kaum pemuda. Sultan
Mahmudsyah juga menyatakan bahwa Kesultanan Indragiri siap bergabung dengan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sultan Mahmudsyah berucap, “Kerajaan
Indragiri sudah berakhir dan kini sudah pemerintahan Indonesia, jadi apa-apa
yang tuan-tuan perbuat saya sangat mendukung.” Bahkan, Sultan Mahmudsyah
menyarankan agar bendera Merah Putih segera dikibarkan di Indragiri. Dengan
demikian jelas sudah bahwa Kesultanan Indragiri di bawah pimpinan Sultan
Mahmudsyah sangat berkomitmen terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
D.
Silsilah Raja-Raja
Berikut silsilah
raja/sultan yang pernah berkuasa di Kerajaan Keritang/Kesultanan Indragiri,
berdasarkan buku Sejarah Kesultanan Indragiri (1994), karya Ahmad Yusuf, Umar
Amin, Noer Muhammad, dan Isjoni Ishaq:
1.
Raja Kecik Mambang atau
Raja Merlang (1298-1337), Raja Keritang ke-1.
2.
Nara Singa I (1337-1400),
Raja Keritang ke-2.
3.
Raja Merlang II
(1400-1473).
4.
Nara Singa II (1473-1508),
Raja Keritang ke-4 yang kemudian mendirikan Kesultanan Indragiri atau Raja
Indragiri ke-1 dengan gelar Sultan Iskandar Alauddin Syah (1508-1532).
5.
Sultan Usuluddin Hasansyah
(1532-1557), Sultan Indragiri ke-2.
6.
Raja Ahmad atau Sultan
Mohammadsyah (1557-1599), Sultan Indragiri ke-3.
7.
Raja Jamaluddin bergelar
Sultan Jamaluddin Kramatsyah (1599-1658), Sultan Indragiri ke-4.
8.
Sultan Jamaluddin
Sulemansyah (1658-1669), Sultan Indragiri ke-5.
9.
Sultan jamaluddin
Mudoyatsyah (1669-1676), Sultan Indragiri ke-6.
10. Sultan Usuludin Ahmadsyah (1676-1687), Sultan Indragiri ke-7.
11. Sultan Abdul Jalil Syah (1687-1700), Sultan Indragiri ke-8.
12. Sultan Mansursyah (1700-1704), Sultan Indragiri ke-9.
13. Sultan Mohammadsyah (1704-1707), Sultan Indragiri ke-10.
14. Sultan Musyaffarsyah (1707-1715), Sultan Indragiri ke-11.
15. Raja Ali Mangkubumi Indragiri bergelar Sultan Zainal Abidin
Indragiri (1715-1735), Sultan Indragiri ke-12.
16. Raja Hasan bergelar Sultan Hasan Salahuddinsyah (1735-1765),
Sultan Indragiri ke-13.
17. Raja Kecil Besar bergelar Sultan Sunan (1765-1784), Sultan
Indragiri ke-14.
18. Sultan Ibrahim (1784-1815), Sultan Indragiri ke-15.
19. Raja Mun (1815-1827), Sultan Indragiri ke-16.
20. Raja Umar atau Sultan Berjanggut Kramat (1827-1838), Sultan
Indragiri ke-17.
21. Raja Said atau Sultan Said Mudoyatsyah (1838-1876), Sultan
Indragiri ke-18.
22. Raja Ismail bergelar Sultan Ismailsyah (1876-1877), Sultan
Indragiri ke-19.
23. Tengku Husin bergelar Sultan Husinsyah (1877-1883), Sultan
Indragiri ke-20.
24. Tengku Isa atau Sultan Isa Mudoyatsyah (1887-1903), Sultan
Indragiri ke-21.
25. Tengku Mahmud atau Sultan Mahmudsyah (1912-1963), Sultan
Indragiri ke-22.
0 Komentar