Kesultanan Pelalawan atau Kerajaan Pelalawan (1725
M - 1946 M) yang sekarang terletak di Kabupaten Pelalawan, adalah satu dari
beberapa kerajaan yang pernah berkuasa di Bumi Melayu yang turut serta
berpengaruh dalam mewarisi budaya Melayu dan Islam di Riau. Sedangkan gelar
atau sebutan bagi Raja Pelalawan adalah Tengku Besar (Tengkoe Besar). Kerajaan Palalawan
mengalami beberapa kali pemindahan yang dimulai dari Kerajaan Pekantua.
A.
Kerajaan Pekantua
(1380-1505)
Pada awalnya,
Kerajaan Pelalawan bernama Kerajaan Pekantua, karena dibangun di daerah bernama
Pematang Tuo. Sekarang masuk Desa Tolam, Kecamatan Pelalawan, Kabupaten
Pelalawan. Setelah berhasil membangun kerajaan, raja pertama Pekantua, Maharaja
Indera (1380-1420), membangun Candi Hyang di Bukit Tuo (sekarang wilayah
Pematang Buluh atau Pematang Lubuk Emas) sebagai wujud rasa syukur.
Banyaknya barang
dagangan yang dihasilkan, terutama hasil hutan, menjadikan Kerajaan Pekantua
semakin terkenal, dan secara perlahan mulai menjadi pesaing bandar terpenting
di Selat Malaka saat itu, yakni Malaka. Oleh karenanya, Raja Malaka, Sultan
Mansyur Syah (1459-1477), berhasrat menguasai Kerajaan Pekantua, sebagai bagian
rencana memperkokoh kekuasaan di pesisir timur Sumatera. Di bawah pimpinan
Panglima Sri Nara Diraja, Malaka berhasil mengalahkan Pekantua.
Setelah mangkat,
secara berturut-turut ia digantikan oleh Maharaja Pura (1420-1445), Maharaja
Laka (1445-1460), Maharaja Sysya (1460-1480), dan Maharaja Jaya (1480-1505).
Maharaja Jaya adalah raja terakhir Pekantua era pra Islam. Setelah era ini,
Pekantua berganti nama menjadi Pekantua Kampar.
B.
Kerajaan Pekantua Kampar
(1505-1675)
Setelah mengalahkan
Pekantua, Sultan Mansyur Syah kemudian mengangkat Munawar Syah sebagai Raja
Pekantua, yang berkuasa pada tahun 1505-1511. Pada upacara penabalan raja, nama
Kerajaan Pekantua diubah menjadi Kerajaan Pekantua Kampar.
Sejak saat itulah
Islam berkembang di Kerajaan Pekantua Kampar. Setelah mangkat, Sultan Munawar
Syah diganti putranya, Raja Abdullah (1511-1515). Pada masa yang hampir
bersamaan, di Malaka Sultan Mansyur Syah mangkat, dan secara berurutan
digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah I, kemudian Sultan Mahmud Syah I.
Sekitar tahun 1511, Malaka diserang Portugis. Hal ini menyebabkan Sultan Mahmud
Syah I menyingkir ke Muar, lalu ke Bintan. Pada tahun 1526, Sultan Mahmud Syah
I sampai di Kerajaan Pekantua Kampar.
Tertangkapnya Raja
Abdullah saat membantu Malaka melawan Portugis, menyebabkan beliau diasingkan
ke Gowa. Hal ini menyebabkan terjadinya kekosongan kekuasaan di Pekantua
Kampar. Sultan Mahmud Syah I yang tiba di Pekantua Kampar pada tahun 1526
langsung dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar (1526-1528). Setelah mangkat,
ia digantikan oleh putranya hasil pernikahan dengan Tun Fatimah, yang bernama
Raja Ali, bergelar Sultan Alauddin Riayat Syah II (1528-1530).
Tak lama kemudian,
Sultan Alauddin Riayat Syah II meninggalkan Pekantua Kampar menuju Tanah
Semenanjung dan mendirikan negeri Kuala Johor. Sebelum meninggalkan Pekanbatu
(ibu kota Pekantua Kampar), beliau menunjuk dan mengangkat Mangkubumi Pekantua
Kampar, bernama Tun Perkasa (1530-1551) bergelar Raja Muda Tun Perkasa. Setelah
itu, ia digantikan oleh Tun Hitam (1551-1575) dan kemudian Tun Megat
(1575-1590).
Saat dipimpin Sultan
Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin Riayat Syah II, Raja Pekantua Kampar),
Kerajaan Johor berkembang pesat. Tun Megat merasa sudah seharusnya mengirim
utusan ke Johor untuk meminta salah seorang keturunan Sultan Alauddin Riayat
Syah II menjadi Raja Pekantua Kampar.
Setelah mufakat
dengan orang-orang Besar Pekantua Kampar, maka dikirim utusan ke Johor, yang
terdiri dari Batin Muncak Rantau (Orang Besar Nilo dan Napuh), Datuk Patih
Jambuano (Orang Besar Delik dan Dayun), dan Raja Bilang Bungsu (Orang Besar
Pesisir Kampar).
Sultan Abdul Jalil
Syah mengabulkan permintaan Tun Megat. Ia lalu mengirimkan salah seorang
keluarga dekatnya bernama Raja Abdurrahman untuk menjadi Raja Pekantua Kampar.
Sekitar tahun 1590, Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar
bergelar Maharaja Dinda (1590-1630). Tun Megat yang sebelumnya berkedudukan
sebagai Raja Muda, oleh Raja Abdurrahman dikukuhkan menjadi Mangkubumi,
mewarisi jabatan kakeknya, Tun Perkasa.
Setelah mangkat,
Maharaja Dinda secara berturut-turut digantikan oleh Maharaja Lela I, bergelar
Maharaja Lela Utama (1630-1650), Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675), dan
kemudian Maharaja Lela Utama (1675-1686).
C.
Kerajaan Tanjung
Negeri (1675-1725)
Pada masa
pemerintahan Maharaja Lela Utama, ibu kota kerajaan dipindahkan ke Sungai Nilo.
Kerajaan ini dinamakan Kerajaan Tanjung Negeri. Setelah mangkat, Maharaja Lela
Utama digantikan oleh putranya, Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691).
Pada masa pemerintahan
Maharaja Wangsa Jaya, banyak wilayah Tanjung Negeri yang diserang wabah
penyakit, sehingga membawa banyak korban jiwa rakyatnya. Meskipun demikian,
para pembesar kerajaan belum mau memindahkan pusat kerajaan dari Tanjung
Negeri. Maharaja Wangsa Jaya mangkat dan digantikan oleh putranya, Maharaja
Muda Lela (1691-1720). Pada masa ini, keinginan untuk memindahkan pusat
kerajaan dari Tanjung Negeri belum juga disepakati para pembesar kerajaan.
Meski demikian, perdagangan dengan Kuantan dan negeri-negeri lain terus
berjalan, terutama melalui Sungai Nilo.
D.
Kerajaan Pelalawan
(1725-1946)
Setelah mangkat,
Maharaja Muda Lela digantikan putranya, Maharaja Dinda II (1720-1750). Pada
masa ini diperoleh kesepakatan untuk memindahkan pusat kerajaan ke tempat yang
oleh Maharaja Lela Utama pernah dilalaukan (ditandai, dicadangkan) sebagai
pusat kerajaan, yaitu di Sungai Rasau, salah satu anak Sungai Kampar, jauh di hilir Sungai Nilo.
Sekitar tahun 1725,
dilakukan upacara pemindahan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri ke Sungai
Rasau. Dalam upacara adat kerajaan itulah, Maharaja Dinda II mengumumkan bahwa
dengan kepindahan itu, kerajaan berganti nama menjadi Kerajaan “Pelalawan”,
yang berarti tempat lalauan atau tempat yang sudah ditandai/dicadangkan. Sejak
itu, nama Kerajaan Pekantua Kampar tidak dipakai lagi, dan digantikan dengan
nama “Pelalawan”. Setelah mangkat, Maharaja Dinda II digantikan oleh putranya,
Maharaja Lela Bungsu (1750-1775).
Terjadinya pertikaian
berkepanjangan di Johor menyebabkan Kerajaan Pelalawan melepaskan diri dari
kekuasaan Johor. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa, penguasa Kerajaan
Johor bukan lagi keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II, Raja Pekantua Kampar
keempat. Sehubungan dengan hal itu, Sultan Syarif Ali yang berkuasa di Siak
(1784-1811) menuntut agar Kerajaan Pelalawan mengakui Kerajaan Siak sebagai
Yang Dipertuan, mengingat beliau adalah pewaris Raja Kecil, putra Sultan Mahmud
Syah II, Raja Johor. Maharaja Lela II menolaknya, dan memicu serangan Siak ke
Pelalawan pada tahun 1797 dan 1798.
Serangan pertama yang
dipimpin oleh Sayid Syihabuddin dapat dipatahkan. Sedangkan serangan kedua yang
dipimpin oleh Sayid Abdurrahman, adik Sultan Syarif Ali, berhasil menaklukkan
Kerajaan Pelalawan. Meskipun demikian, karena merasa seketurunan dari silsilah
Johor, Sultan Sayid Abdurrahman melakukan ikatan persaudaraan Begito (pengakuan
bersaudara dunia akhirat) dengan Maharaja Lela II, Raja Pelalawan. Maharaja
Lela II kemudian diangkat menjadi Orang Besar Kerajaan Pelalawan dengan gelar
Datuk Engku Raja Lela Putera. Sayid Abdurrahman kemudian dinobatkan menjadi
Raja Pelalawan dengan gelar Syarif Abdurrahman Fakhruddin (1798-1822). Sejak
saat itu, Kerajaan Pelalawan dipimpin oleh raja-raja keturunan Sayid
Abdurrahman, saudara kandung Syarif Ali, Sultan Siak, sampai dengan Raja
Pelalawan terakhir.
E.
Pertikaian Siak Sri
Indrapura dan Pelalawan
Pada Masa
Pemerintahan Maharaja Lela II (1775 M - 1798 M), banyak kemelut yang terjadi di
Kesultanan Johor, yaitu sisa-sisa pertikaian takhta antara Raja Kecil dan
Bendahara Padang Saujana Abdul Jalil pada tahun 1722. Bendahara Padang Saujana
dan anaknya Tengku Sulaiman (kemudian menjadi Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah
Johor) berpakat dengan Bugis 5 bersaudara (Daeng Parani, Daeng Merewah, Daeng
Menambun, Daeng Kemasi dan Daeng Chelak) untuk mengusir Raja Kecil dari takhta
Johor. Raja Kecil dikalahkan dan lari ke Siak menubuhkan Kesultanan Siak Sri
Indrapurayang kekuasaannya mengambil tanah bekas jajahan Johor di pulau
Sumatra. Karena tidak bersedia tunduk dan mengakui kekuasaan Sultan Sulaiman
Badrul Alam Syah akan takhta Johor yang direbutnya, karena masalah itulah
Maharaja Lela II memisahkan diri dari Kekuasaan Johor. Hal ini diperkuat oleh
kenyataan bahwa penguasa Kesultanan Johor bukan lagi dari keturunan leluhurnyaSultan
Alauddin Riayat Syah II (Malaka) tapi dari wangsa Bendahara yang merampas
takhta.
Sehubungan dengan hal
itu, Sultan Syarif Ali Raja Siak Sri Indrapura (1784-1811) menuntut agar
Kerajaan Pelalawan mengakui Kesultanan Siak sebagai Yang Dipertuannya,
mengingat dia adalah pewaris sah Raja Kecil, putra Sultan Mahmud Shah II
(Sultan Johor terdahulu). Namun Maharaja Lela II menolaknya sehingga memicu
pertikaian antara Siak Sri Indrapura dan Pelalawan.
F.
Serangan Siak Sri Indrapura
ke Pelalawan
Dalam catatan
sejarah, terdapat dua kali serangan Pasukan Besar Siak Sri Indrapura ke
Pelalawan melalui air dan darat. Peristiwa ini terjadi antara tahun1797 - 1810
M. Pada perang inilah beberapa Tokoh terkenal muncul, sepertiSaid Osman
Syahabuddin, Datuk Maharaja Sinda, Panglima Kudin dan gurunya Panglima Katan,
Panglima Hitam, Hulubalang Engkok, Cik Jeboh, Panglima Garang dan sebagainya.
Pada masa itu,
Kerajaan Siak Sri Indrapura melalui penasehat istana mereka yang bernama Said
Osman Syahabuddin (Ayah dari Sultan Syarif Ali penguasa Siak kala itu),
berencana melakukan penyerangan ke Pelalawan melalui jalur air Sungai Kampar,
hal itu dilakukan mengingat benteng pertahanan Pelalawan yang terletak di kuala
Sungai Mempusun. Demi mempersiapkan penyerangannya, Said Osman Syahabuddin
beserta pengikutnya menyiapkan sebuah kapal perang yang bernama "Kapal
Baheram", kapal besar Siak dengan rancangan militer yang kokoh.
Diperkirakan pada
awal tahun 1797 M, Said Osman Syahabuddin beserta pasukannya melancarkan
serangan ke Pelalawan menggunakan Kapal Baheram. Setibanya mereka di kuala
mempusun, terjadilah peperangan antara pasukan Said Osman Syahabuddin yang
disambut oleh Pasukan Pelalawan dibawah pimpinan Hulubalang Engkok, perang
sengitpun terjadi. Pada pekan pertama, Kapal Baheram Said Osman Syahabuddin
terkena hantaman Meriam dari pasukan Hulubalang Engkok, Kapal Baheram mengalami
kerusakan, dan memaksa Said Osman Syahabuddin memundurkan sementara pasukannya.
Setelah berhasil mundur, Said Osman Syahabuddin beserta awak kapalnya mendiami
suatu teluk, yang sekarang dinamakan "Teluk Mundur" di sebelah hilir
Kuala Mempusun. Di Teluk Mundur ia kembali mengatur serangan, lalu dengan
segera melakukan serangan ke duanya ke Benteng Mempusun. Setelah perang terjadi
beberapa hari, Kapal Baheram mendapat kerusakan yang semakin parah, dan tidak
dapat melanjutkan peperangan lagi. Lalu pada sorenya Said Osman Syahabuddin
memutuskan mundur dan kembali ke Siak Sri Indrapura menggunakan Kapal Baheram
yang dalam keadaan rusak parah. Sesampainya mereka di seberang kampung Ransang,
Kapal Baherampun tenggelam. Dan sejak saat itu, wilayah tersebut dinamakan
"Rasau Baheram", namun Said Osman Syahabuddin dan pasukannya berhasil
kembali ke Siak Sri Indrapura dengan selamat melalui jalan darat.
Setelah Pasukan Said
Osman Syahabuddin mundur, keluar satu pantun terkenal di masyarakat Pelalawan
saat itu, yang berbunyi sebagai berikut :
Empak-empak
diujung Galah
Anak Toman
disambar Elang
Pelalawan
dirompak, haram tak kalah
Baheram Osman
berlayar pulang.
G.
Perebutan Kekuasaan
Pelalawan
Sekembalinya pasukan
Sayyed Osman Syahabuddin ke Siak Sri Indrapura, kebencian Pelalawan semakin
dalam meskipun tidak ada konflik langsung yang terjadi antara Siak Sri
Indrapura dan Pelalawan dalam beberapa tahun. Pada masa itu, Datuk Maharaja
Sinda dan Pembesar Kerajaan Pelalawan, mengambil sikap “menentang Siak”. Sikap
penentangan ini dibuktikan dengan seluruh rumpun pisang yang berjantung ke arah
Siak dipancung dan ayam yang berkokok
menghadap ke Siak dibunuh. Bukti penentangan terhadap Siakpun masih ada
hingga saat ini, yaitu batu nisan Datuk Maharaja Sinda yang makamnya terletak
di Desa Kuala Tolam, Kecamatan Pelalawan tetap condong ke Selatan, tidak ke
Barat (ke arah Siak).
Sampai pada tahun
1798 M, Pasukan Siak Sri Indrapura yang dipimpin oleh Panglima Besar Syarif
Abdurrahman (adik Sultan Syarif Ali Siak), kembali melakukan penyerangan
terhadap Pelalawan. Serangan kedua tersebut dilakukan melalui dua arah, yaitu
pasukan angkatan darat menyerang melalui hulu Sungai Rasau dan pasukan angkatan
laut menyerang melalui muara Sungai Kampar. Pada pertempuran itu Panglima Besar
Kerajaan Pelalawan satu persatu gugur, termasuk Panglima Kudin dan tunangannya
Zubaidah yang gugur di benteng pertahanan Tanjung Pembunuhan. Kali ini
Pelalawan takhluk dibawah tangan Syarif Abdurrahman. Lalu, Syarif Abdurrahman
berdiri sebagai Raja Pelalawan yang diakui oleh KakaknyaSultan Syarif Ali dari
Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Pemerintah Hindia Belanda dengan gelar Sultan
Assyaidis Syarif Abdurrahman Fakhruddin. Setelah Sultan Syarif Abdurrahman
mangkat. Takhta Kerajaan Pelalawan diwariskan secara turun temurun kepada anak
cucu dari Sultan Syarif Abdurrahman sendiri.
Pada beberapa sumber
menyebutkan, sebab kekalahan Pelalawan ialah dikarenakan adanya mata-mata dari
Siak Sri Indrapura yang bernama "Kasim", menyirami seluruh mesiu di
Benteng Pertahanan Mempusun dengan air sehingga tidak dapat digunakan lagi.
H.
Akhir Kekuasaan
Pada masa
Pemerintahan Sultan Syarif Harun (1940-1946), adalah masa pemerintahan yang
paling sulit di Kerajaan Pelalawan. pada masa itu Indonesiasengsara di bawah
penjajahan Jepang, rakyat menderita lahir batin. Penderitaan itu dirasakan pula
oleh rakyat Pelalawan. Padi rakyat dicabut untuk kepentingan Jepang, orang-orang
diburu untuk dijadikanromusha, dimana-mana terjadi kesewenang-wenangan.
Demi menjaga
kemakmuran rakyat Pelalawan, pada tahun 1946 Sultan Syarif Harun mendarma
baktikan Pelalawan kepada Pemerintah Indonesia Setelah kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan, Sultan Syarif Harun bersama Orang-orang Besar bersepakat
menyatakan diri dan seluruh Rakyat Pelalawan ikut ke dalam Pemerintahan
Republik Indonesia, dan siap sedia membantu perjuangan dalam mempertahankan
kemerdekaan RepublikIndonesia.
Pada tanggal 7 Agustus
2008, Lembaga Kerapatan Adat Melayu Kabupaten Pelalawan mengangkat Tengku
Kamaruddin Haroen bin Sultan Syarif
Harun sebagai Sultan Pelalawan ke-10, dengan Gelar Sultan Assyaidis
Syarif Kamaruddin Haroen.
I.
Silsilah Para Raja
Berikut ini urutan penguasa di
Pelalawan, sejak era pra Islam hingga era Islam:
1.
Kerajaan Pekantua
(1380-1505)
a.
Maharaja Indera (1380-1420)
b.
Maharaja Pura (1420-1445)
c.
Maharaja Laka (1445-1460)
d.
Maharaja Sysya (1460-1480)
e.
Maharaja Jaya (1480-1505).
2.
Kerajaan Pekantua Kampar
(1505-1675)
a.
Munawar Syah (1505-1511)
b.
Raja Abdullah (1511-1515)
c.
Sultan Mahmud Syah I
(1526-1528 )
d.
Raja Ali/Sultan Alauddin
Riayat Syah II (1528-1530)
e.
Tun Perkasa/ Raja Muda Tun
Perkasa (1530-1551)
f.
Tun Hitam (1551-1575)
g.
Tun Megat (1575-1590)
h.
Raja Abdurrahman/Maharaja
Dinda (1590-1630)
i.
Maharaja Lela I/Maharaja
Lela Utama (1630-1650)
j.
Maharaja Lela Bangsawan
(1650-1675 ).
3.
Kerajaan Tanjung Negeri
(1675-1725)
a.
Maharaja Lela Utama
(1675-1686)
b.
Maharaja Wangsa Jaya
(1686-1691)
c.
Maharaja Muda Lela
(1691-1720)
d.
Maharaja Dinda II
(1720-1725).
4.
Kerajaan Pelalawan
(1725-1946)
a.
Maharaja Dinda II/Maharaja
Dinda Perkasa/Maharaja Lela Dipati (1725-1750)
b.
Maharaja Lela Bungsu
(1750-1775)
c.
Maharaja Lela II
(1775-1798)
d.
Sayid Abdurrahman/Syarif
Abdurrahman Fakhruddin (1798-1822)
e.
Syarif Hasyim (1822-1828)
f.
Syarif Ismail (1828-1844)
g.
Syarif Hamid (1844-1866)
h.
Syarif Jafar (1866-1872)
i.
Syarif Abubakar (1872-1886)
j.
Tengku Sontol Said Ali
(1886-1892 )
k.
Syarif Hasyim II
(1892-1930)
l.
Tengku Sayid Osman/Pemangku
Sultan (1930-1940)
m. Syarif Harun/Tengku Sayid Harun (1940-1946).
J.
Peninggalan Kerajaan
Pelalawan
a.
Istana Sayap
Istana Sayap merupakan
sebutan bagi Istana Kesultanan Pelalawan, Istana ini awalnya dibangun oleh
Sultan ke-7 Pelalawan Baru yang bernama Tengkoe Besaar Sontol Said Ali (1886 –
1892 M). namun dia wafat disaat bangunan Istana belum selesai. Selanjutnya pembangunan
Istana ini diselesaikan oleh penerusnya Tengkoe Besaar Syarif Hasyim II (1892 –
1930 M).
Istana ini sebelumnya
dinamakan “ISTANA UJUNG PANTAI”. Namun ketika Sultan Syarif Hasyim II
melanjutkan pembangunan istana, ia membangun dua sayap disamping kanan dan kiri
istana, yang dijadikan Balai. Maka istana inipun dinamakan “ISTANA SAYAP”.
Bangunan di sebelah kanan istana (sebelah hulu) disebut “Balai Sayap Hulu” yang
berfungsi menjadi kantor Sultan”, dan bangunan di sebelah kiri Istana (sebelah
hilir) dinamanakan “Balai Hilir” yang berfungsi sebagai “Balai Penghadapan”
bagi seluruh rakyat Pelalawan.
Banyak sekali filosofi
yang terkandung pada bangunan Istana ini, namun sangat disayangkan bangunan
Istana bersejarah ini sudah tidak dapat dilihat lagi, yang terisa saat ini
hanyalah bangunan Istana Kanan atau Istana Sayap Kanan. karena dua bangunan
yang merupakan Istana Tengah dan Istana Kiri sudah habis terbakar pada 19
Februari 2012.
b.
Mesjid Hibbah
Masjid Hibbah
Pelalawan dibangun tahun 1936, semasa pemerintahan Regent Tengkoe Pangeran Said
Osman (1930 – 1941). Lokasi Masjid di tetapkan di pinggir sungai 'Naga
Belingkar', mengingat tempat tersebut tak jauh dari bangunan Istana Pelalawan
dan Rumah kediaman Sultan. Lokasi masjid ini berada di tengah-tengah dan mudah
ditempuh dari segala pemukiman, baik dengan berjalan kaki maupun dengan
menggunakan perahu.
Kata “ Hibbah “ untuk
nama masjid tersebut diambil dari makna ‘pemberian (sumbangan). Karena Mesjid
ini dibangun dari keikhlasan masyarakat pelalawan waktu itu yang bergotong
royong tanpa terkecuali tua dan muda, laki-laki dan perempuan, dan pekerjaan
tersebut dilaksanakan siang malam tanpa paksaan. Bahkan pada kegiatan tersebut
Sultan dan para pembesar kerajaanpun ikut bekerja bersama rakyatnya.
Sebahagian besar bahan
bangunannya terbuat dari ‘teras laut’,
kayu pilihan yang sengaja dipesan, sebagian lagi diramu oleh pemuda-pemuda di
kawasan hutan. Sedangkan semen untuk tiang, kaca pintu, atap dan timah campuran
bahan qubahnya merupakan sumbangan Sultan.
Masjid Hibbah bagaikan
mahkota yang amat terpelihara, bahkan menurut penduduk setempat bangunan ini
berharga melebihi bangunan Istana Sayap. Karena Mesjid tersebut merupakan wujud
dari persaudaraan yang pernah mereka bangun dengan susah payah secara bersama-sama.
c.
Meriam Perang
Tidak jauh dari Istana
Sayap, tepatnya di bagian hulu dapat dijumpai tempat dimana sebagian Meriam
Peninggalan Kerajaan Pelalawan diletakkan. Sebagian meriam berwarna kuning dan
sebagian lagi berwarna hitam, dahulunya meriam ini merupakan fasilitas
pertahanan utama yang digunakan Kerajaan Pelalawan saat berperang melawan
musuh.
d.
Komplek Pemakaman Raja
Komplek pemakaman ini
terdiri dari tiga bagian, yang masing-masing terpisah beberapa puluh meter dan
memiliki bangunan pelindung sendiri-sendiri. Yakni makam Raja, makam Dekat dan
makam Jauh.
Pemakaman utama
disebut makam raja, terletak sekitar 50 meter dari Istana Sayap, tepatnya
dibelakang Mesjid yang bernama Mesjid Hibbah. di sini bersemayan 3 (tiga) Raja
Pelalawan diantaranya Sultan Syarif Hasyim (1894—1930), Regent Tengkoe Pangeran
Said Osman (1931—1940), dan Sultan Syarif Haroen (1940—1946).
Selain Komplek
pemakaman Raja, terdapat lagi dua pemakaman Raja yang bernama makam Jauh dan
makam Dekat. Makam jauh dan makam dekat berisi Raja-raja para, para alim ulama,
pembesar kerajaan, orang-orang yang berjasa serta kalangan keluarga dekat
Kerajaan.
e.
Peninggalan sejarah lainnya
Masih banyak lagi
peninggalan-peninggalan sejarah Kerajaan Pelalawan yang berada di Komplek
Kerajaan di desa Pelalawan, diantaranya seperti bangunan Pesenggerahan Panglima
Kudin, Rumah kediaman Sultan Syarif Haroen (1940-1946), Rumah kediaman Regent
Tengkoe Pangeran Said Osman (1931-1940), benda-benda kecil seperti stempel
kerajaan, baju kebesaran Raja, tempat tidur Raja, alat tenun Tuan Putri, alat
musik Istana, keris, tombak, perhiasan-perhiasan, gong, piring, dan benda-benda
pusaka lainnya.
Sumber: http://wiyonggoputih.blogspot.com/
0 Komentar