Kesultanan Aceh Darussalam adalah
sebuah kerajaan bercorak agama Islam yang berada di provinsi Aceh, Republik
Indonesia. Kesultanan Aceh berlokasi di utara dari pulau Sumatera dengan ibu
kota kerajaan di Bandar Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya yaitu Sultan
Ali Mughayat Syah yang naik takhta pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada
tanggal 8 September 1507. Dalam sejarah kerajaan yang panjang itu dari tahun
1496 – 1903, Aceh mengembangkan sebuah pola dan sistem terhadap pendidikan
militer negaranya, dengan komitmen kerajaan dalam menentang imperialisme dari
bangsa Eropa, memiliki sebuah sistem pemerintahan kerajaan yang teratur dan
sistematik, mewujudkan adanya pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan
menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain. Beberapa kerajaan di pulau
sumatra lainnya seperti Sejarah Kerajaan Samudera Pasai.
A.
Awal Mula Berdirinya
Kesultanan Aceh Darussalam
Pada awalnya kerajaan
Aceh ini berdiri diatas wilayah dari Kerajaan Lamuri, kemudian Kerajaan Aceh
berhasil menundukan dan menyatukan beberapa wilayah disekitar kerajaannya
mencakup daerah Daya, Pedir, Lidie, Nakur.
Selanjutnya pada
tahun 1524 wilayah Kesultanan Samudra Pasai sudah menjadi bagian dari
Kesultanan Aceh diikuti dengan wilayah Aru. Pada tahun 1528, Sultan Ali
Mughayat Syah digantikan oleh anaknya yang bernama Salahuddin, yang kemudian
memerintah hingga tahun 1537. Kemudian Sultan Salahuddin digantikan oleh
saudaranya yang bernama Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar melalui sebuah
kudeta, sultan ini memerintah hingga tahun 1571.
Setelah wafatnya
Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar terus melanjutkan perjuangan. Beberapa
kali melakukan serangan kejohor dan terus menjalin persahabatan dengan sejarah
kerajaan islam di indonesia lainnya terutama yang berada di pulau jawa.
B.
Masa Kejayaan Kesultanan
Aceh Darussalam
Meskipun kedudukan
Sultan dianggap sebagai penguasa paling tinggi di kerajaan itu, tetapi pada
kenyataannya selalu dikendalikan oleh para orangkaya atau hulubalang. Sebuah
Hikayat Aceh mengatakan bahwa Sultan yang dikudeta secara paksa adalah Sultan
Sri Alam yang dikudeta pada tahun 1579 karena sikapnya yang sudah melampaui
batas dalam membagi-bagikan harta dari kerajaan kepada para pengikutnya.
Penggantinya yaitu Sultan Zainal Abidin dibunuh beberapa bulan kemudian karena
sikapnya kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan gemar melakukan adu
binatang.
Raja-raja dan para
orangkaya menawarkan mahkota kerajaan kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid
al-Mukamil dari anggota Dinasti Darul Kamal pada tahun 1589. Ia mengakhiri
periode ketidak-stabilan terhadap kerajaannya dengan membrantas para orangkaya
yang berlawanan dengannya sambil memperkuat kedudukannya sebagai penguasa
absolut di Kesultanan Aceh yang dampaknya dapat dirasakan pada sultan sesudah
dia. Kesultanan Aceh melakukan ekspansi dan pengaruh perluasan wilayah pada
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (tahun 1607 – 1636) atau dikenal juga
sebagai Sultan Meukuta Alam.
Pada masa
pemerintahannya, Kesultanan Aceh menaklukkan wilayah Pahang yang merupakan
penghasil sumber utama dari timah. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh
melaksanakan penyerangan terhadap tentara Portugis yang berada di Melaka dengan
armada yang mencapai 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara angkatan laut.
Serangan ini dilakukan dalam upaya memperluas dominasi Kesultanan Aceh atas
daerah Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi yang dilakukan
Kesutanan Aceh mengalami kegagalan, meskipun pada tahun yang sama Kesultanan
Aceh berhasil menduduki daerah Kedah dan banyak membawa penduduk Kedah ke Aceh.
Pada masa
pemerintahan Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek dari Sultan
Iskandar Muda) mengirim utusan diplomatik ke negara Belanda pada tahun 1602
dengan pimpinan diplomatik yaitu bernama Tuanku Abdul Hamid. Sultan ini juga
banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin negara di dunia seperti ke Sultan
Turki yang bernama Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I
pemimpin Kerajaan Inggris. Semua ini dilakukan bertujuan untuk memperkuat
posisi dari Kesultanan Aceh.
C.
Masa Keruntuhan Kesultanan
Aceh Darussalam
Diplomat
AcehKemunduran dari Kesultanan Aceh disebabkan karena beberapa faktor, di
antaranya adalah :
1.
Menguatnya Negara Penjajah,
Makin menguatnya kekuasaan dari negara penjajah yaitu Belanda di pulau Sumatera
dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah lain disekitarnya yaitu
Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (tahun 1840) serta
Bengkulu kedalam kekuasaan dari penjajahan Kerajaan Belanda.
2.
Perebutan Kekuasan Pewaris
Tahta Aceh, Faktor penting lainnya yaitu terjadinya perebutan kekuasaan di
antara para pewaris tahta dari kesultanan Aceh. Hal ini bisa dibuktikan kerana
setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga berbagai serangkaian peristiwa
lainnya, dimana para bangsawan ingin menghilangkan kontrol ketat dari kekuasaan
Sultan dengan mengangkat janda dari Sultan Iskandar Tsani menjadi seorang
Sultanah. Beberapa sumber mengatakan bahwa ketakutan akan adanya lagi Raja yang
bersikap tirani yaitu (Sultan Iskandar Muda) yang melatarbelakangi ada
pengangkatan ratu atau sultanah ini. Sejak itu masa damai terjadi di wilayah
Kesultanan Aceh, para Uleebalang bebas melakukan perdagangan dengan para
pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibukota Kesultanan. Lada
yang merupakan tanaman utama yang dibudidayakan oleh warga Aceh diseantero
pesisir Aceh sehingga menjadikan lada sebagai pemasok utama di dunia hingga
pada akhir abad 19. Namun beberapa masyarakat Aceh terutama dari kaum para
wujudiyah menginginkan pemiminnya nanti seorang laki-laki yang bergelar Sultan.
Mereka mengatakan bahwa pewaris sah dari Kesultanan Aceh masih hidup dan
tinggal bersama kaum ini di pedalaman Aceh. Terjadi perang saudara, sehingga
menyebabkan masjid raya terbaka dan ibu kota Kesultanan yaitu Bandar Aceh
mengalami kegaduhan dan ketidaktentraman dimana-mana. Menindaklanjuti dari
perang saudara ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) yang bernama Tgk.
Syech Abdurrauf As-Sinkily melaksanan berbagai reformasi terutama dalam hal
pembagian kekuasaan sehingga terbentuknya tiga sagoe. Oleh karena ini
mengakibatkan kekuasaan dari sultanah atau sultan menjadi sangat lemah dengan
hanya berkuasa penuh pada beberapa daerah saja yaitu daerah Bibeueh (kekuasaan
langsung).
3.
Perang Saudara, Perang
saudara terjadi dalam hal perebutan terhadap kekuasaan turut andil dalam
melemahnya dari Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam. Pada masa pemerintahan
Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (tahun 1795-1824), seorang keturunan dari
Sultan yang dibuang bernama Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan Aceh
dengan mengangkat putranya menjadi Sultan tandingan yang bernama Sultan Saif
Al-Alam. Perang saudara kembali terjadi namun berkat bantuan dari Thomas
Raffles dan Koh Lay Huan yaitu seorang pedagang dari Penang kedudukan dari
Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (yang mampu berbahasa Perancis, Inggris dan
Spanyol) dikembalikan kembali. Tak sampai disitu, terjadi perang saudara lagi
yang kembali merebutan mahkota Kesultanan Aceh antara Tuanku Sulaiman dengan
Tuanku Ibrahim yang kelak akan bergelar Sultan Mansur Syah (tahun 1857-1870).
4.
Adanya Pembayaran Upeti ke
Sultan, Sultan Mansyur Syah berusaha untuk memperkuat kembali kesultanan Aceh
yang sudah melemah. Dia berhasil mengalahkan para raja lada untuk memberikan
upeti kepada sultan, hal ini sebelumnya tak pernah dilakukan oleh sultan
sebelumnya. Untuk memperkuat pertahanan di wilayah timur, sultan ini
mengirimkan sebuah armada pada tahun 1854 yang dipimpin oleh Laksamana Tuanku
Usen dengan kekuatan armada mencapai 200 perahu. Ekspedisi ini dilakukan untuk
meyakinkan kekuasaan dari Kesultanan Aceh terhadap daerah Deli, Langkat dan
Serdang. Namun naasnya, pada tahun 1865 Kesultanan Aceh harus angkat kaki dari
daerah itu karena ditaklukkannya di benteng Pulau Kampai.
5.
Ditolaknya Persekutuan
dengan Perancis, Sultan ini juga berusaha melakukan persekutuan dengan pihak
luar yang bertujuan untuk membendung agresi dari Kerajaan Belanda.
Dikirimkannya sebuah utusan kembali ke Istanbul sebagai pemertegas dari status
Kesultanan Aceh sebagai negara vassal dari Kesultanan Turki Utsmaniyah serta
mengirimkan sejumlah uang dana bantuan untuk Perang Krimea. Sebagai balasannya,
Sultan Abdul Majid I dari Kesultanan Turki Utsmaniyah mengirimkan beberapa alat
tempur untuk Kesultanan Aceh. Tak hanya dengan Kerajaan Turki, sultan juga
berusaha membentuk aliansi dengan Kerajaan Perancis dengan mengirim sebuah
surat kepada Raja Perancis saat itu yaitu Louis Philippe I dan Presiden
Republik Perancis ke II (tahun 1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi
serius oleh Perancis.
6.
Sultan Mahmudsyah yang
Masih Muda dan Lemah menjadi Penguasa, Kemunduran dari Sejarah Kesultanan Aceh
Darussalam terus terjadi karena naik tahktanya dari Sultan Mahmudsyah yang
sangat muda dan lemah menjadi penguasa di Kesultanan Aceh. Serangkaian upaya
dilakukan dengan cara diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya
Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi dari Kerajaan
Belanda mengalami kegagalan. Setelah kembali ke ibukota Banda Aceh, Habib Abdurrahman
Az-zahier bersaing dengan seorang keturunan India yang bernama Teuku Panglima
Maharaja Tibang Muhammad untuk menancapkan pengaruh kekuasaannya dalam
pemerintahan Kesultanan Aceh. Kaum moderat cenderung mendukung seorang Habib
Abdurrahman tapi sultan ini lebih mendukung Panglima Tibang yang dicurigai
melakukan persekongkolan dengan Kerajaan Belanda ketika melakukan perundingan
di Riau. Pada akhir November 1871, lahirlah sebuah perjanjian yang disebut
dengan sebagai Traktat Sumatera, dimana dikatakan bahwa “negara Inggris wajib
melepaskan diri dari segala perluasan kekuasaan yang dilakukan negara Belanda
di bagian daerah manapun yang ada di pulau Sumatera. Pembatasan-pembatasan
Traktat London tahun 1824 mengenai wilayah Aceh juga dibatalkan.” Sejak itu,
usaha-usaha dilakukan untuk menyerbu wilayah Aceh makin santer disuarakan, baik
dari negera Belanda maupun di Batavia. Para UleeBalang dari Kesultanan Aceh dan
utusan khusus dari Sultan diberi tugas untuk mencari bantuan ke sekutu lama
mereka yaitu Kesultanan Turki. Namun kondisiini tidak dimungkinkan karena saat
itu Kesultanan Turki baru saja berperang dengan negara Rusia di Krimea. Usaha
meminta bantuan juga dikirim ke negara Italia, Perancis hingga Amerika namun
tidak membuahkan hasil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang bertujuan untuk
meraih simpati dari negara Inggris tidak juga menghasilkan apa-apa. Dengan
alasan inilah, negara Belanda memantapkan diri untuk menyerah ibukota Banda
Aceh. Maret 1873, pasukan negara Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa
menandai awal dilakukannya invasi Belanda ke Kesultanan Aceh.
7.
Perang Aceh, Sultan Aceh Perang
Aceh dimulai sejak negara Belanda menyatakan perang terhadap Kesultanan Aceh
pada tanggal 26 Maret 1873 setelah melakukan berbagai ancaman diplomatik, namun
Belanda belum berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali dikobarkan
pada tahun 1883, namun lagi-lagi mengalami kegagalan, dan pada tahun 1892 dan
tahun 1893, pihak negara Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut
wilayah Aceh. Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli
Islam dari Universitas Leiden telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari
banyak pemimpin di Kesultanan Aceh, memberikan masukan kepada negara Belanda
agar merangkul para Ulèëbalang, dan melumat habis-habisan para kaum ulama.
Masukan ini baru dilaksanan ketika Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van
Heutsz memimpin. Pasukan Marsose dibentuk dan G.C.E. Van Daalen diutus oleh
Belanda untuk mengejar habis-habisan para pejuang Aceh hingga masuk pedalaman. Pada
tahun 1879 dan tahun 1898, Sultan Kesultanan Aceh pada masa itu, yaitu Sultan
Muhammad Daud Syah II, meminta negara Rusia untuk diberikan status protektorat
kepada Kesultanan Aceh dan meminta bantuan melawan Belanda. Namun, permintaan
dari sultan ini ditolak Rusia. Pada Januari tahun 1903 Sultan Muhammad Daud
Syah akhirnya menyerahkan diri kepada negara Belanda setelah dua istrinya, anak
serta ibundanya ditawan oleh tentara Belanda. Panglima Polem Muhammad Daud,
Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud menyusul menyerahkan diri pada tahun
1903 pada bulan September. Perjuangan Aceh di lanjutkan oleh ulama keturunan
dari Tgk. Chik di Tiro dan berakhir ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau Teungku
Mayed tewas ketika perang pada tahun 1910 di Gunung Halimun.
0 Komentar