Kesultanan Siak Sri Indrapura
merupakan salah satu kesultanan terbesar di Provinsi Riau. Awalnya Riau
merupakan provinsi yang mencakup Riau (Daratan) danKepulauan Riau (Kepri).
Tetapi sejak 24 September 2004, Provinsi Kepri ditetapkan sebagai daerah otonom
di Provinsi Riau dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 25 Tahun 2002 tentang
pembentukan Provinsi Kepri sebagai pemekaran Provinsi Riau. Pada
1 Juli 2004, secara resmi Provinsi Kepri mengalami pemekaran dan menjadi
provinsi ke 32 di Indonesia.
Sebelum menetap di daerah yang
dinamakan Kabupaten Siak, Kesultanan Siak Sri Indrapura beberapa kali mengalami
perpindahan pusat kekuasaan. Ketika pertama kali didirikan, pusat pemerintahan
Kesultanan Siak Sri Indrapura berada di Buantan, kemudian berpindah ke Mempura,
Senapelan Pekanbaru, kembali lagi ke Mempura, dan ketika diperintah oleh Tengku
Said Ismail bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syarifuddin
(1827-1864) pusat pemerintahan dipindahkan ke kota Siak Sri Indrapura dan
akhirnya menetap di sana sampai pemerintahan Sultan Siak Sri Indrapura yang
terakhir, Tengku (Putera) Said Kasim II bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim
Sani Abdul Jalil Syarifuddin (1908-1946).
A.
Awal berdiri Kesultanan Siak
Menurut sejarahnya
Kesultanan Siak Sri Indrapura merupakan sebuah kesultanan yang didirikan oleh
Raja Kecil yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah (13-1746) pada 1723.
Raja Kecil merupakan keturunan dari Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (Sultan
Johor) dan Encik Pung. Disebutkan dalam Hikayat Baginda Sultan Abdul Jalil Rahmat
Syah (Raja Kecil) Sultan Siak Pertama.“Maka Baginda (Raja Kecil) itu, adalah
putera dari pada Sulthan Mahmud Abdul Jalil Ra‘yat Syah, almarhum mangkat
Dijulang Johor dengan … Encik Pung binti Datuk Laksamana Johor … Maka Sulthan
Mahmud Abdul Jalil Ra‘yat Syah itu keturunan daripada Sultan mahmud Syah
Malaka.- Setelah Malaka kalah dari Alphonso Alburqueque (Portugis) pada tahun
1511 Masehi, maka berpindahlah Raja Malaka ke Johor turun-temurun hingga sampai
pada Sulthan Mahmud yang tersebut”
Sebagai pewaris
Kesultanan Johor, Raja Kecil tidak serta merta langsung bisa menggantikan
kedudukan sang ayah sebagai Sultan Johor. Kesulitan ini terjadi karena sebelum
Raja Kecil dilahirkan, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah dibunuh oleh Megat Sri
Rama pada 1699. Istri sang sultan, Encik Pung yang sedang mengandung Raja
Kecil, akhirnya dilarikan ke Singapura (Temasik) kemudian ke Jambi. Dalam
pelarian inilah, Raja Kecil lahir dan dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung
Minangkabau. Sedangkan tahta Kesultanan Johor diduduki oleh Datuk Bendahara Tun
Habib yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Shah.
Setelah dewasa Raja
Kecil menuntut haknya selaku pewaris tahta Kesultanan Johor. Kesultanan Johor
akhirnya diserang dan ditaklukkan pada 21 Maret 1717. Raja Kecil akhirnya
ditabalkan sebagai sultan di Kesultanan Johor dengan gelar bergelar Sultan
Abdul Jalil Rakhmat Syah.
Akan tetapi pada 1722
terjadi perebutan tahta antara Raja Kecil dengan Tengku Sulaiman yang merupakan
putera dari Datuk Bendahara Tun Habib. Dalam upaya merebut tahta Kesultanan
Johor, Tengku Sulaiman dibantu oleh beberapa bangsawan dari Bugis. Seperti
tertulis dalam Hikayat Baginda Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (Raja Kecil)
Sultan Siak Pertama (1985), bangsawan Bugis yang membantu Tengku Sulaiman
adalah Daeng Relak alias Opu Tandriburung, putera ketiga dari Raja Negeri Luok
(Bugis) yang bernama Landu Salat. Dalam membantu Tengku Sulaiman, Daeng Relak
mengikutsertakan kelima anaknya yang bernama Daeng Parani (Daeng Berani), Daeng
Menambung, Daeng Merewah, Daeng Celak (Daeng Pulai), dan Daeng Kemasi.
Perebutan tahta
Kesultanan Johor antara Raja Kecil dan Tengku Sulaiman sebenarnya tidak pernah
berakhir. Kedua belah kubu bisa dikatakan sama-sama kuat. Akibat dari perebutan
tahta ini, banyak korban yang diderita oleh kedua belah pihak. Akhirnya kedua belah
pihak membuat kesepakatan (perjanjian) untuk mengakhiri konflik perebutan
tahta. Seperti dikutip dalam Hikayat Baginda Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah
(Raja Kecil) Sultan Siak Pertama, kesepakatan tersebut berbunyi:
1. Kerajaan Riau dibagi dua,
yakni Pulau-pulau Riau, Lingga, Negeri Johor serta Negeri Pahang, menjadi
Kerajaan Raja Suleman yang ditabalkan dengan seruan: ‘Sultan Suleman Badra‘
Alamsyah‘
2. Siak serta jajahan yang di
pulau Sumatera dan pulau yang berhampiran mulai dari Karimun, menjadi Kerajaan
Siak, pulang kepada Raja Kecik (Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah).
3. Segala alat kebesaran
seperti nobat dan lain-lainnya pun dibagi dua, demikian juga orang-orang jadi
jawatan adat-adat seperti suku Bintang ada di Siak dan kerjanya memasang meriam
nobat, kepalanya bernama Jenang, karena itu orang Bolang dinamakan Bolang
Biduanda”
Berdasarkan
kesepakatan inilah, kubu dari Tengku Sulaiman menyingkir ke Pahang, sedangkan
kubu Raja Kecil menyingkir ke Buantan. Buantan merupakan daerah pedalaman
sungai Siak yang terletak kurang lebih 10 km di hilir kota Siak Sri Indrapura
sekarang. Dari Buantan inilah pada 1723, Kesultanan Siak Sri Indrapura
didirikan oleh Raja Kecil sampai menjadi pusat penyebaran agama Islam di
Sumatera Timur.
B.
Perkembangan Kerajaan Siak
Pemerintahan Raja
Kecil ditandai dengan pembuatan landasan sistem pemerintahan, militer, dan
sistem perekonomian untuk menentang monopoli Belanda dan Bugis. Beliau juga
mengarahkan sistem pemerintahan untuk menjalin hubungan dengan luar khususnya
negeri Islam, seperti negeri-negeri Islam Minangkabau, Turki, Arab, dan Mesir.
Seperti disebutkan dalam buku Sejarah Riau (2004), untuk membangun kekuatan di
bidang militer, Raja Kecil memerintahkan kepada Datuk Laksmana Raja Di Laut
untuk membangun armada laut yang kuat. Perintah ini dilaksanakan oleh Laksmana
Raja Di Laut dengan menjadikan Bintan sebagai tempat pembuatan
kapal-kapal perang di mana persenjataan kapal-kapal tersebut didatangkan dari
negeri-negeri Islam. Sedang dalam bidang perekonomian, Raja Kecil memanfaatkan
Bandar Sabah Auh untuk melakukan hubungan dagang dengan negeri pesisir timur
Sumatera sampai Aceh dan Minangkabau. Raja Kecil juga memberlakukan pajak yang
dinamakan pancung alas(pajak atas hasil hutan) dan tapak lawang (pajak kepala).
Setelah kekuatan militer, pemerintahan, dan ekonomi telah memadai, Raja Kecil
kembali menyerang Kesultanan Johor pada 1724-1726. Dalam sebuah pertempuran di
Kedah, Raja Kecil berhasil membunuh Daeng Parani akan tetapi tidak berhasil
menguasai Kedah. Tetapi keberhasilan penyerangan ini dapat dilihat dari
masuknya wilayah Rokan, Tanah Putih, Bangka, dan Kulo ke dalam wilayah
Kesultanan Siak Sri Indrapura. Selepas penyerangan ke Kesultanan Johor, Raja
Kecil yang kini telah bekerjasama dengan orang-orang Bugis, berkali-kali muncul
di Selat Malaka untuk mengacaukan alur perdagangan Belanda. Kejadian ini
berlangsung antara 1740-1745. Pada 1746, Raja Kecil wafat dan dimakamkan di
Buantan. Sebagai pengganti Raja Kecil, tampuk kekuasaan dipegang oleh Tengku
Buang Asmara bergelar Sultan Muhammad Abdul Jalil Jalaluddin Muzafar Syah
(1746-1765).
Perpindahan kekuasaan
dari Raja Kecil ke Sultan Muhammad Abdul Jalil Jalaluddin Muzafar Syah
sebenarnya diwarnai dengan sengketa perebutan tahta. Hal ini terjadi karena
sultan pengganti merupakan anak bungsu dari Raja Kecil. Raja Kecil sebenarnya
mempunyai 3 orang putera, yaitu Tengku Alamuddin, Tengku Muda, dan Tengku Buang
Asmara. Perebutan tahta terjadi antara Tengku Buang Asmara dan Tengku
Alamuddin. Sedangkan Tengku Muda telah meninggal dunia di usia yang masih
sangat muda. Akhirnya perebutan tahta dimenangkan oleh Tengku Muda, sedangkan
Tengku Alamuddin mengundurkan diri ke Johor.
Pemerintahan Sultan
Muhammad Abdul Jalil Jalaluddin Muzafar Syah ditandai dengan perpindahan pusat
kekuasaan dari Buantan ke Mempura pada 1760 dan penggantian nama Sungai Jantan
menjadi Sungai Siak. Oleh karena itu dinamakan pula Kesultanan Siak dan
pusatnya bernama Siak Sri Indrapura. Sejak saat itulah, Kesultanan Siak resmi
memakai nama Kesultanan Siak Sri Indrapura. Selain itu, pemerintahan Sultan
Muhammad Abdul Jalil Jalaluddin Muzafar Syah juga ditandai dengan konfrontasi
secara langsung dengan Belanda untuk pertama kalinya. Perang terjadi di daerah
Guntung pada 1760. Inilah kemenangan terbesar Kesultanan Siak Sri Indrapura
atas Belanda. Atas kekalahan ini, Belanda mundur dan untuk sementara
menghentikan upaya penaklukan Kesultanan Siak Sri Indrapura.
Pada 1765 Sultan
Muhammad Abdul Jalil Jalaluddin Muzafar Syah wafat dan dimakamkan di Mempura.
Sebagai pengganti naiklah puteranya bernama Tengku Ismail bergelar Sultan
Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1765-1767). Pergantian pemegang kekuasaan
di Kesultanan Siak Sri Indrapura membuat keinginan Belanda untuk menaklukkan
Kesultanan Siak Sri Indrapura muncul kembali. Dengan memperalat Tengku
Alamuddin, Belanda kembali menyerang Kesultanan Siak Sri Indrapura dan berhasil
menaklukkannya pada 1766. Pada 1967 bertahtalah Tengku Alamuddin dengan gelar
Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah.
Pada masa
pemerintahan Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, pusat pemerintahan Kesultanan
Siak Sri Indrapura berpindah ke Senapelan. Beliau membuat sebuah pekan (pasar)
untuk perdagangan. Tempat tersebut kini dikenal sebagai Pekanbaru. Selama
memerintah beliau memperbesar pusat perdagangan dan membuka alur perdagangan
dengan daerah pedalaman yang menghubungkan dengan Senapelan.
Kebijakan untuk
memelihara dan mengembangkan perdagangan di Senapelan tetap dilanjutkan pada
masa pemerintahan Tengku Muhammad Ali Panglima Besar bergelar Sultan Muhammad
Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (1780-1782). Akan tetapi kegemilangan menjadikan
Senapelan sebagai pusat perdagangan mulai goyah, ketika terjadi perpindahan
pusat kekuasaan dari Senapelan ke Mempura. Perpindahan ini terjadi pada masa
pemerintahan Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah (1782-1784). Perpindahan
pusat kekuasaan Kesultanan Siak Sri Indrapura dilakukan karena terjadi
perebutan tahta sultan antara Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah dan Said
Ali. Perebutan tahta sebenarnya dimulai ketika Sultan Muhammad Ali selaku
pemegang tahta Kesultanan Siak Sri Indrapura berhasil dikalahkan oleh Sultan
Ismail yang dulu pernah dikalahkan oleh Sultan Alamuddin (ayah dari Sultan
Muhammad Ali) dan menyingkir ke Pelalawan hingga ke Langkat. Ketika Sultan
Ismail wafat, beliau telah menyiapkan pengganti yaitu Sultan Yahya. Akan tetapi
karena Sultan Yahya masih kecil, tampuk kekuasaan diserahkan kepada Tengku
Muhammad Ali yang sebelumnya telah mendapat pengampunan oleh Sultan Ismail dan
diangkat sebagai Raja Muda. Setelah dewasa Sultan Yahya akhirnya naik tahta
pada 1782. Naiknya Sultan Yahya ditandai dengan perebutan tahta antara Sultan
Yahya dengan keturunan dari Sultan Alamuddin yaitu Said Ali (cucu dari Sultan
Alamuddin).
Kedudukan Sultan
Yahya sebagai pemegang tampuk kekuasaan ternyata tidak berlangsung lama karena
terus menerus mendapat tekanan dari Said Ali. Sultan Yahya akhirnya menyingkir
ke Kampar kemudian ke Trenggano dan akhirnya ke Dungun dan wafat di sana pada
1784. Said Ali akhirnya naik sebagai pengganti dari Sultan Yahya. Said Ali yang
bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi (1784-1810) adalah
putra dari Tengku Embung Badariah dan Said Syarif Usman, seorang bangsawan
Arab, sehingga beliau merupakan Sultan Siak pertama berdarah Arab. Pada masa
pemerintahannya Kesultanan Siak Sri Indrapura memiliki 12 daerah jajahan, di
antaranya: Kotapinang Pagarawan, Batubara Bedagai, Kualuh, Panai, Bilah,
Asahan, Deli, Serdang, Langkat, dan Temiang. Masa pemerintahan Sultan
Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi ditandai dengan kembali berpindahnya
pusat kekuasaan Kesultanan Siak Sri Indrapura dari Mempura ke Kota Tinggi.
C.
Perkembangan Islam di
Kesultanan Siak
Seperti dikutip dari
tulisannya Mahmud Muhammad dalam tulisannya di gurusiana, setelah diadakan
musyawarah, dan menghasilkan beberapa kesepakatan maka Raja Kecil, orang
besarnya, Hulu Balang dan beserta para pengikut setianya beranjak ke daratan
Sumatera. Dalam perjalannya sempat berhenti di Sungai Jantan ( nama Sungai Siak
pada waktu itu) karena menurut Raja Kecil tempat ini sangat cocok dan
strategis. Kemudian Raja Kecil menentukan daerah Buantan dijadikan sebagai
pusat pemerintahan dan akan mendirikan Istana serta benteng-benteng pertahanan
sebagai simbol telah ada dan berdiri sebuah kerajaan. Pada saat itu Raja Kecil
di nobatkan sebagai sultan pertama yang bergelar sama halnya gelar Raja Kecil
semasa Sultan Johor ke XII yakni Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah dan kerajaan
ini diberi nama Kesultanan Siak Pada tahun 1722 M, setelah lengsernya Raja
Kecil dari Sultan Johor ke XI, sejak itulah Kesultanan Siak memulai
pemerintahan kerajaan hingga berekspansi ke wilayah lain.
Hadirnya Islam dengan
penuh keramahan dan kedamaian terhadap agama yang sudah ada sebelumnya dan
karena agama Islam tidak pernah merusak adat dan budaya yang telah berlaku jauh
sebelum kedatangannya, seperti yang terjadi di Gasib (nama kerajaan Siak pada
sebelum dikuasai Melaka), justru agama Islam memadukan adat dan budaya
Hindhu-Budha dengan beberapa unsur yang condong dengan nilai-nilai ke –Islaman
diataranya pada upacara adat seperti, membakar dupa, adat tepung tawar
dipadukan dengan unsur ke Islaman adanya pengucapan salam dan diakhiri dengan
doa. Seluruh peristiwa ini bisa terlaksana karena apa yang telah dilakukan oleh
para pendakwah Islam ( mubaligh) sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad s.a.w
bahwasanya agama Islam adalah agama yang penuh dengan kedamaian, karena didalam
suatu riwayat rasulullah bersabda” sesungguhnya Aku ( Muhammad s.a.w) diutus
oleh Allah SWT, tidak lain untuk menyempurnakan Akhlak”. Berlandaskan itulah
agama Islam perlahan mendapatkan respons positif dan berkembang begitu cepat
dikalangan masyarakat Gasib meskipun dahulunya kental dengan ajaran
Hindhu-Budha. Dan setelah kedatangan Sultan Johor ke XII yang biasa disebut
Raja Kecil di Siak, maka Agama Islam semakin kuat dan berkembang karena Raja
Kecil beserta pemerintahannya merupakan penganut agama Islam yang kuat. Sampai
saat ini, Agama Islam menjadi agama mayoritas masyarakat siak yang telah
diwariskan dari zaman ketika kerajaan Gasib ditaklukan oleh kerajaan Melaka dan
juga ketika Raja Kecil mendirikan kerajaan Siak Sri Inderapura di bumi Siak.
Dalam percakapan
untuk berkomunikasi penduduk di Riau khususnya di Siak Sri Inderapura dengan
menggunakan bahasa Melayu-Riau. Mengenai sejarah bahasa Melayu berasal daripada
rumpun bahasa Austronesia yang berasal dari bahasa Austris. Selain dari
Austronesia terdapat juga bahasa rumpun Austronesia dari rumpun Tibet-Cina.
Bahasa Melayu memilki tiga periode, yakni periode Bahasa Melayu Kuno, Bahasa
Melayu Klasik, dan Bahasa Melayu Modern.
Periode pertama,
bahasa Melayu Kuno digunakan pada abad ke VII-XIII, tepatnya pada masa imperium
Kerajaan Sriwijaya. Pada saat itu Bahasa Melayu Kuno dijadikan sebagai Lingua
Franca, karena bahasa melayu tidak membedakan status sosial dan mudah
dipengaruhi dari luar. Bahasa Melayu Kuno oleh bahasa Sanskrit yang memperkaya
pembendaharaan kata dari bahasa Melayu karena pada saat itu bahasa Sanskrit
merupakan bahasa para bangsawan dan ilmuwan. Periode kedua, Bahasa Melayu
Klasik, pada abad ke XIII, pada periode ini masa kegemilangan bahasa Melayu
karena berada di tiga zaman kerajaan yang besar seperti, Kesultanan Malaka,
Kesultanan Aceh, dan Kesultanan Johor-Riau. Pada masa yang berbeda ini, tiga
kerajaan tersebut menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa internasional dan
bahasa wajib ketika melakukan aktifitas berdagang diarea Semenanjung Malaka.
Bahasa Melayu juga sebagai media yang efektif dalam proses Islamisasi di
Semenanjung Melayu. Seorang pegawai pada masa pemerintahan Portugis yang
bernama Jan HugenVan Lischotten yang berkebangsaan Belanda mengatakan bahwa
pada saat itu bahasa Melayu dianggap sebagai bahasa yang paling dihormati
diantara bangsa-bangsa- negeri Timur.
Terdapat beberapa
Hipotesis yang terbangun, baik mengenai kedatangan maupun Tarikh kedatangannya
yang mungkin saling melengkapi satu sama lain. Dalam bahasa Arab-Melayu ini
menjadi bahasa orang-orang Melayu pada masa beberapa Kesultanan di tanah
Melayu, seperti Kesultanan Pasai, Kesultanan Aceh, Kesultanan Malaka,
Kesultanan Johor-Riau, Kesultanan Siak Sri Inderapura ( Yusuf Yusmar, 2009:
23-26). Dari uraian tersebut, maka terlihat bahwa Proses dan berkembangnya
islam di Siak tidak terlepas dari penggunaan bahasa Melayu yang telah dipakai
secara luas baik dikalangan bangsawan atau pihak istana maupun rakyat biasa.
Islam semakin cepat dipahami dan diresapi oleh masyarakat karena adanya bahasa
Melayu yang di jadikan sebagai bahasa resmi dalam melakukan kegiatan
perdagangan.
Bahasa Melayu juga
semakin kompleks dan berkembang dengan tambahan dari kosa kata bahasa Arab dan
Persia. Bahasa Melayu juga dijadikan bahasa pengantar utama Islam di seluruh
Kepulauan Melayu-Indonesia, sehingga pada abad ke Enambelas selambat-lambatnya
bahasa Melayu telah berjaya mencapai peringkat bahasa sastra dan agama Islam.
Jadi, antara bahasa
Melayu dan agama Islam telah terjadi hubungan yang sangat kuat dimana Islam
berkembang dengan perantara bahasa Melayu dan bahasa Melayu menjadi semakin
tinggi taraf,mutu, dan penggunaannya sehingga pada akhirnya bahasa Melayu
menjadi cikal bakal dari bahasa Indonesia. Dengan demikian, bahasa Melayu
sangat memainkan peranan penting dalam penyebaran Islam di Siak dan daerah
lainnya dan bahkan juga sampai di luar Negeri.
D.
Kemunduran Kesultanan Siak
Kejayaan Kesultanan
Siak Sri Indrapura mulai pudar pasca turunnya Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul
Jalil Baalawi dan digantikan oleh putera beliau, Tengku Said Ibrahim bergelar
Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin (1810-1827). Kemunduran
Kesultanan Siak Sri Indrapura dipengaruhi oleh beberapa faktor, pertama,
penduduk Kesultanan Siak Sri Indrapura mulai banyak yang berpindah tempat ke
Lingga, Tambelan, Trenggano, bahkan Pontianak. Kedua, masuknya intervensi Barat
seperti perjanjian dengan Kolonel William Farquhar (Kepala Perwakilan Kompeni
Hindia Inggris di Penang) dan Belanda, turut memberikan andil mundurnya Kesultanan
Siak Sri Indrapura. Perjanjian dengan kedua belah pihak ini (Inggris dan
Belanda) merupakan perjanjian yang mengikat dan tidak jarang merugikan
Kesultanan Siak Sri Indrapura.
Seperti tertulis di
dalam buku Sejarah Riau (2004), kemunduran Kesultanan Siak Sri Indrapura
semakin parah ketika terjadi pemberontakan dari dalam ketika Kesultanan Siak
Sri Indrapura diperintah oleh Tengku Said Ismail bergelar Sultan Assyaidis
Syarif Ismail Abdul Jalil Syarifuddin (1827-1864). Perselisihan ini dimulai
ketika Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin mengalami
gangguan jiwa dan terpaksa meletakkan tampuk kekuasaan. Para Dewan Kesultanan
akhirnya berunding dan disepakati untuk mengangkat Tengku Said Ismail sebagai
pengganti sultan. Padahal jika dirunut dari garis keturunan, Tengku Said Ismail
adalah anak dari Tengku Muhammad dengan saudara perempuan sultan, yaitu Tengku
Mandah. Naiknya Tengku Ismail sebagai pengganti sultan praktis membuat garis
keturunan langsung dari Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin
terputus karena terjadi alih keturunan. Beberapa kalangan yang tidak sependapat
dengan pengangkatan ini akhirnya melancarkan pemberontakan. Mereka di antaranya
adalah Tengku Do yang bergelar Yam Mertuan Raja Di Laut dari daerah Bangko,
Kubu, dan Tanah Putih, serta pemberontakan yang berasal dari dalam kalangan
istana yang dipimpin oleh Tengku Putera. Di luar Kesultanan Siak Sri Indrapura,
ternyata Aceh mengambil keuntungan dengan merebut daerah jajahan Kesultanan
Siak Sri Indrapura di Temiang dan Kualuh. Atas dasar pemberontakan ini, Sultan
Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syarifuddin meminta bantuan dari pihak
Inggris yang dipimpin oleh Wilson. Wilson sukses menghalau pemberontakan dan
meminta upah dengan menduduki Bengkalis. Tindakan Wilson tidak berkenan di hati
Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syarifuddin, sehingga beliau meminta
bantuan Belanda untuk mengusir Wilson dari Bengkalis. Belanda menyanggupinya
dan berhasil mengusir Wilson dari Bengkalis. Sebagai balas jasa, Belanda
mengadakan perjanjian kepada Kesultanan Siak Sri Indrapura. Perjanjian kemudian
dilakukan pada 1 Februari 1858 yang dikenal dengan Traktat Siak.
Penandatangan Traktat
Siak justru semakin memperparah kemunduran Kesultanan Siak Sri Indrapura. Baik
dilihat dari sistem pemerintahan maupun wilayah kekuasaan, Kesultanan Siak Sri
Indrapura berada dalam pengaruh kekuasaan Belanda. Akan tetapi masuknya
kekuasaan Belanda di dalam Kesultanan Siak Sri Indrapura, menjadi tanda bahwa
kehidupan modern mulai berlaku di Kesultanan Siak Sri Indrapura. Kehidupan
modern, khususnya di dalam lingkungan istana dimulai ketika Tengku (Panglima
Besar) Said Kasim I bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Abdul Jalil
Syarifuddin naik tahta pada 1864-1889. Beliau berhasil mendirikan Masjid
Syahabuddin, Qubbah Kasyimiah, membuat mahkota kesultanan, memulai modernisasi
pendidikan, pemerintahan, dan ekonomi.
Kehidupan modern di
Kesultanan Siak Sri Indrapura berlanjut ketika Tengku Putera (Ngah) Said Hasyim
bergelar Sultan Assyaidis Syarif Hasim Abdul Jalil Syarifuddin naik tahta pada
1889-1908. Seperti tertulis di dalam buku Siak Sri Indrapura(2005), beliau
meneruskan modernisasi dalam pendidikan, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan
memperkaya kesultanan dengan eksport hasil bumi Siak. Beliau juga membangun
Balai Kerapatan Tinggi (Balai Rung Sari) dan Istana Asserayah Hasyimiah yang
diisi dengan perlengkapan Eropa (di antaranya tempat cerutu yang terbuat dari
perak, tempat gula yang khusus dipesan dari Limoges, Perancis, dan alat musik
Gramafon dan Komet buatan Jerman), membangun percetakan, dan menyusun Al
Qawa‘id atau Babul Qawa‘id (konstitusi tertulis Kesultanan Siak Sri Indrapura).
Khususnya di bidang pendidikan, beliau berupaya menandingi dominasi pendidikan
Belanda lewat HIS (Hollandsche Inlandsche Schoolatau Sekolah Dasar). Sekolah
yang didirikan oleh Belanda ini seluruh pembiayaannya dibebankan kepada
Kesultanan Siak Sri Indrapura. Sekolah ini hanya menampung anak-anak pembesar
kesultanan, kaum bangsawan, dan anak-anak hartawan Cina, Arab, serta India.
Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi rakyat yang tidak tertampung dalam
HIS, Sultan Assyaidis Syarif Hasim Abdul Jalil Syarifuddin mendirikan Madrasah
Taufiqiyah al Hasyimiah untuk anak laki-laki dengan lama pendidikan 7 tahun.
Sedangkan Tengku Agong, permaisuri pertama mendirikan sekolah kepandaian
puteri, Latifah School. Sepeninggal permaisuri pertama pada 1927, Tengku
Maharatu yang merupakan permaisuri kedua mendirikan asrama puteri bernama
Istana Limas yang menampung anak-anak yatim piatu yang disekolahkan di Latifah
School dan diberi tugas di lingkungan istana membantu semua kegiatan istana,
seperti menerima tamu, memasak, dan membersihkan istana. Di samping itu
didirikan pula Madrasyahtul Nisak untuk kaum perempuan dengan lama pendidikan 7
tahun, serta sebuah Taman Kanak-kanak.
Sultan terakhir
Kesultanan Siak Sri Indrapura adalah Tengku (Putera) Said Kasim II bergelar
Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin (1908-1946). Ketika
Sultan Said Kasim II memerintah, beliau melakukan beberapa hal, antara lain:
penanaman kapuk, pembukaan jalan raya Tratak Buluh-Si Malinjang-Gunung
Sahilan-Teluk (Sumatera Barat), peningkatan jalan Siak-Pekanbaru-hulu Sungai
Siak, pembukaan bank kredit rakyat di Bagansiapi-api atas nama Bank Bagan
Madjoe pada 1917, dan membentuk Dewan Kesultanan Siak yang telah dihapuskan
Belanda sejak Traktat Siak ditandatangani pada 1 Februari 1858.
Sultan Said Kasim II
juga menaruh perhatian di bidang kesenian. Seperti tertulis di dalam buku Siak
Sri Indrapura (2005), Sultan Kasim II menyelenggarakan kegiatan-kegiatan
kesenian di istana, terutama pada Hari Ulang Tahun Kesultanan Siak Sri
Indrapura, pada saat menerima tamu kerajaan, dan pada saat upacara persembahan
kepada sultan. Istana juga mempunyai korps musik, serta grup kesenian tonil.
Grup tonil ini dipimpin oleh Teungku Juned, abang ipar sultan. Tarian Zapin
mendapat tempat terhormat dan dipertunjukkan di istana. Tari-tarian rakyat
lainnya yang dipertunjukkan di istana adalah Tari Olang-olang, Lukah, dan
Joget. Teater tonil dimainkan oleh orang-orang istana, sedang teater rakyat,
Makyong, dimainkan oleh sanggar teater masyarakat.
Selain memberikan
perhatian dibidang perekonomian, pembangunan, dan kesenian, Sultan Said Kasim
II juga merupakan seorang nasionalis. Hal ini dibuktikan ketika terjadi
Revolusi Sosial di sebagian wilayah Sumatera Timur pada minggu pertama bulan
Maret 1946, lima istana kesultanan yang ada di pantai timur Sumatera dibakar,
kecuali Istana Maimoon di Medan dan Istana Asserayah Al Hasyimiah di Kesultanan
Siak Sri Indrapura. Penyebab utama tidak ikut dibakarnya Istana Asserayah Al
Hasyimiah di Kesultanan Siak Sri Indrapura adalah tindakan Sultan Said Kasim II
yang dengan tegas telah menunjukkan keberpihakan pada Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sikap sang sultan juga diwujudkan secara nyata dengan pemberian
dukungan dari pihak Kesultanan Siak Sri Indrapura kepada Negara Kesatuan
republik Indonesia sejak awal kemerdekaan 17 Agustus 1945. Bahkan pada bulan
Oktober 1945, Sultan Said Kasim II membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) di
Siak yang segera disusul dengan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan
upacara pengibaran Bendera Merah-Putih di halaman istana. Sebagai tanda menjadi
bagian dari Republik Indonesia, Sultan Said Kasim II menyerahkan mahkota dan
pedang Kesultanan Siak yang kini menjadi koleksi Museum Nasional Indonesia
(Museum Gajah) dan menyerahkan sebagain hartanya untuk membantu perjuangan
kemerdekaan
Sumber:
0 Komentar