Sejarah

Banner IDwebhost

Jepang di Jambi



A.   Masuknya Jepang ke Jambi
Jauh sebelum Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 dalam perundingan di Kalijati, Bandung, tentara selatan Jepang telah menguasai Singapura. Setelah menguasai Singapure maka Jepang menempatkan Singapura sebagai pusat tentara selatan (Nampo Gun) dibawah komando Jenderal Trauchi Hisoichi.
Salah satu kesatuan bawahan tentara selatan adalah Tentara Keenam Belas yang wilayah operasinya adalah daerah Hindia Belanda. Komandan tentara Keenam Belas adalah Imamora Hitochi. Tentara Keenam Belas terbagi ke dalam divisi dengan wilayah operasinya masing-masing. Divisi ke-38 terdapat satu brigade yang ditugaskan mendarat di Palembang dan sekitarnya termasuk daerah Jambi.
Jepang masuk dan mulai menguasai Jambi pada tanggal 4 Maret 1942. Menurut penuturan masyarakat kehadiran Jepang di kota Jambi lama sekali tidak ada perlawanan dari Belanda. Sebelum Palembang jatuh ke tangan Jepang tanggal 14 Pebruari 1942, Belanda telah meninggalkan kota Jambi menuju pulau Jawa (Batavia). Sedangkan rakyat Jambi sendiri sebagai akibat penjajahan Belanda tidak lagi memiliki institusi/ kelembagaan yang mampu menghimpun perjuangan rakyat seperti zaman Sultan Thaha Syaifuddin, yang ada adalah institusi pemerintahan adat yang dipegang oleh priayi dan pegawai negeri (ambtenar). Keadaan inilah yang melapangkan jalan masuknya tentara Jepang dapat dengan mudah mengambil alih pemerintahan Hindia Belanda di Jambi. Namun demikian ada juga perlawanan rakyat Jambi menentang tibanya Jepang. Peperangan hebat terjadi di sekitar Pulau Musang. Tetapi karena memiliki persenjataan yang kurang, maka perlawanan ini tidak berarti penting karena itu dengan mudah dapat dipatahkan Jepang.
Setelah Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, maka pihak Jepang melakukan reorganisasi tentara selatan (Nampo Gun). Jepang membentuk tiga Human Gun (tentara wilayah). Satu untuk Birma, satu untuk Indonesia dan satu lagi untuk Malaya. Pasukan Jepang di pulau Sumatra di bawah komando tentara Kedua Puluh Lima. Pembagian wewenang terhadap wilayah Indonesia, dibagi sebagai berikut ;
1.    Angkatan darat oleh tentara Kedua Puluh Lima dan tentara Keenam Belas yang punya wewenang atas pulau Sumatra dan Jawa.
2.    Angkatan laut oleh Armada Ketiga (Armada Wilayah Barat daya) atau Nansei Human Kintai, punya wewenang atas pulau Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian.
Kemudian Jepang setelah menguasai seluruh Wilayah Hindia Belanda, maka pemerintahan Militer Jepang membagi Indonesia Ke dalam 3 wilayah pemerintahan Militer yang berbeda yakni ;
1.    Wilayah Sumatra dikuasai Angkatan Darat (Rikugun) oleh Komando tentara Kedua Puluh Lima, pusatnya di Bukit Tinggi.
2.    Wilayah Jawa dan Madura dikuasai oleh Angkatan Darat oleh Komando tentara Keenam Belas, pusatnya di Jakarta.
3.    Wilayah Kalimantan dan Indonesia Timur dikuasai oleh Angkatan Laut (Kaigun) pusatnya di Makasar.
Masyarakat Jambi mungkin termasuk lebih dahulu mengetahui kehadiran Jepang di Asia Tenggara, karena sifat dagangnya yang banyak bepergian ke Singapura dan Malaya. Rakyat Jambi sama seperti masyarakat lain di Indonesia tidak gelisah, tidak juga cemas, dan juga tidak khawatir tentang kabar bahwa Jepang sebentar lagi akan menguasai pulau Sumatra. Diakui bahwa rakyat Jambi ada dendam kesumat terhadap Belanda dan ingin agar Belanda lari dari Jambi. Terlebih lagi di tengah masyarakat berkembang pendapat bahwa kehadiran Jepang tidak untuk menjajah, melainkan untuk membebaskan saudara-saudaranya bangsa Asia dari belenggu penjajahan bangsa Barat dan bersama-sama dengan Jepang membentuk kemakmuran bersama di lingkungan Asia Timur Raya.
Sebelum tahun 1942 di tengah-tengah masyarakat Jambi memang telah ada orang Jepang sebagai buruh, pedagang, petani, dan membuka usaha perbengkelan. Mereka itu (orang Jepang) dalam jumlah terbatas, umumnya kaum pria. Belanda mengakui keberadaan mereka Jambi sebagai warga Timur Asing. Menurut cerita dari mulut kemelut pada waktu tentara Jepang masuk ke Jambi ternyata masih ada penduduk yang mengenali orang Jepang itu telah memakai seragam militer.
Lain lagi dengan Belanda yang sangat cemas mendengar kabar sebentar lagi Jepang akan tiba di Jambi. Kecemasan dan kegelisahan Belanda ini ternyata mudah diketahui oleh rakyat Jambi, sebab Belanda telah gelisah sedangkan rakyat hanya biasa saja. Dalam suasana yang cemas, gelisah, dan khawatir itu maka Belanda masih sempat menebarkan propaganda murahan kepada rakyat di desa-desa, bahwa ;
1.    Bahwa tentara Jepang itu sangat ganas terhadap kaum wanita.
2.    Bahwa tentara Jepang suka merampas padi, beras, dan ternak penduduk.
Ketakutan dan kecemasan Belanda menjelang tibanya Jepang di Jambi adalah satu kenyataan yang logis. Selama Belanda berkuasa di Indonesia, ternyata Belanda tidak membangun pasukan tempur yang memiliki persenjataan lengkap. Tetapi Belanda hanya memiliki pasukan kecil tentara dan kepolisian dalam negeri yang ditujukan untuk menumpas pemberontakan oleh pejuang-pejuang pribumi. Sedangkan Jepang memiliki segalanya yaitu pasukan tempur yang hebat. Sebagai persiapan menunggu tibanya tentara Jepang, maka Belanda memerintahkan rakyat Jambi untuk :
1.    Rakyat di pedesaan diperintahkan agar masing-masing membuat kebun ubi, jagung, pisang, sebagai persiapan bahan makanan dalam menghadapi Jepang nantinya.
2.    Rakyat di pedesaan diperintahkan agar masing-masing membuat rumah talang di dalam kebun berjarak ± 3 km dari desa, sebagai persiapan menyingkir bila Jepang masuk.

B.    Pemerintahan Jepang
Pemerintahan militer Jepang di Jambi tidak banyak berbeda dengan struktur pemerintahan Keresidenan Jambi yang dibentuk oleh Belanda. Pemerintahan militer Jepang di Sumatra disebut Gunsereikan yang kemudian di sebut Saiko Sikikan. Pemerintahan diselenggarakan oleh kepala staf yang disebut Gunseikan. Organisasi pemerintahan disebut Gunseibu yang berpusat di Singapura. Azas pemerintahan militer Jepang adalah dekonsentrasi.
Dalam Pemerintahan militer, terpisah dengan pemerintahan sipil. Kepolisian, Jambi-Syuu dikepalai oleh seorang Keimubuco, dijabat oleh orang-orang Jepang. Di setiap gun dibentuk pula kepolisian (Kaisatsu) yang dipimpin oleh orang, Jepang dengan pangkat Kaisatsuco dan wakilnya adalah orang pribumi. Pemerintahan Jambi Syuu dibantu penyelenggaraannya oleh kepala pemerintahan umum (Somubuco), kepala perekonomian (Keizabuco), dan kepala kepolisian (Keimubuco). Dikutip dari buku “Tentara Peta” karangan Nugroho Notosusanto (1979), satu dokumen konferensi penghubung antar markas besar kemaharajaan dan kabinet pada tanggal 20 November 1941, antara lain disebutkan sebagai berikut. Sasaran pemerintahan-pemerintahan militer adalah:
1.    Memulihkan ketertiban umum.
2.    Mempercepat penguasaan sumber-sumber yang vital bagi pertahanan Nasional.
3.    Menjamin berdikari di bidang ekonomi bagi personil militer.
4.    Status terakhir wilayah-wilayah yang diduduki dan pengaturannya di masa depan akan ditentukan secara terpisah.

Dalam pelaksanaan pemerintahan militer, organisasi-organisasi pemerintahan yang ada akan dimanfaatkan sebanyak mungkin dengan menghormati struktur organisasi yang lampau dan kebiasaan-kebiasaan pribumi. Penduduk pribumi akan dibina sedemikian rupa sehingga mempunyai kepercayaan kepada pasukan-pasukan Kemaharajaan dan penggairahan secara prematur daripada gerakan-gerakan kemerdekaan pribumi harus dihindari.
Untuk menghadapi perang, Asia Timur Raya melawan sekutu, maka kebijaksanaan Jepang terhadap wilayah pendudukan bermuara kepada pemenangan perang. Sehingga wilayah pendudukan dieksploitasi– sedemikian agar mendukung perang melawan sekutu. Semua potensi sosial, ekonomi, budaya, kepercayaan, lembaga dan potensi lainnya dimanfaatkan Jepang untuk kepentingan militer. Pemerintahan militer Jepang memanfaatkan tenaga pribumi untuk duduk dalam pemerintahan sipil.
Untuk merekrut tenaga kerja / pegawai pemerintahan yang memenuhi persyaratan, maka Jepang mendirikan sekolah khusus/semacam kursus dinas C, yakni Samarora Koa Kurensho di Batu Sangkar. Alumni sekolah ini dipersiapkan Jepang untuk menjadi kader pemimpin pemerintahan/pegawai negeri yang disebut Katsuri, dengan pangkat Kuco, setingkat camat. Belum diketahui berapa jumlah pemuda Jambi yang mendapat pendidikan di sekolah ini.

C.    Latihan Militer
Pada masa pemerintahan Belanda, memang ada putra Jambi yang direkrut oleh Belanda di bidang ketentaraan yakni dalam dinas Marsose. Jumlahnya sangat terbatas yang bertujuan untuk pecah-belah dalam menghadapi perlawanan rakyat. Tetapi Jepang dalam memberikan latihan militer kepada pribumi bertujuan lain dari Belanda, yakni untuk mobilisasi pemuda-pemuda dalam perang melawan sekutu. Di pulau Sumatra, termasuk Jambi maka Jepang menghimpun pemuda dalam latihan militer seperti Gyugun (Tenaga sukarela), Kaygun (Angkatan Laut), Heiho (Pembantu Prajurit), Kempeitai (Polisi Militer), Seinendan (Barisan Pemuda), Keibodan (Barisan Pemuda Polisi), Jibakutai (Barisan Berani Mati), Romusha (Pekerja Paksa), dll.

D.   Sosial Keagamaan
Dengan maksud ingin merangkul umat Islam, maka pemerintahan militer Jepang melalui departemen urusan agama (Shumobu) tidak menghalangi kegiatan organisasi Islam. Madjlisoel Islamil A’laa Indonesia (MIAI), Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) tidak dibubarkan. Bahkan Jepang ikut juga mendorong berdirinya organisasi Islam yakni Masyoemi ? (Madjelis Syoero Muslimin Indonesia) pada bulan November 1942. Kemudian Jepang membubarkan organisasi MIAI.
Para ulama Jambi dari setiap gun diambil satu orang untuk berangkat ke Singapore. Mereka dikumpulkan dalam satu seminar mengenai Islam oleh pusat penerangan dari Dai Nippon. Selesai di indoktrinasi para ulama Jambi diberikan sebuah lencana dan diberi kewajiban menyampaikan hasil pertemuan kepada rakyat bahwa tentara Jepang menghormati perkembangan agama Islam di Indonesia. Para ulama di daerah Jambi pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, mereka menghimpun dirinya ke dalam partai politik yakni Partai Masyoemi. Para pemuka agama atau ulama ikut menggalang semangat juang melawan Belanda pada masa agresi militer I dan II.

E.    Kerja Paksa
Di daerah Jambi, rakyat dikenakan wajib bakti atau kerja paksa. Di pulau Jawa dan tempat lain mungkin namanya Romusya, tapi di Jambi kerja paksa ini disebut Kendoroshi atau umumnya disebut Kuli Palembang. Mula-mula rakyat dipaksa mengerjakan atau bergotong-royong. membuat lapangan terbang di Sarolangun, dan jalan jalan yang ada di Jambi. Tapi kemudian dipaksa bekerja ke Palembang untuk membuat jalan dan lapangan terbang.
Di kota Palembang arah ke pasar 16, dekat dengan jembatan Ampera (sekarang) terdapat sebuah jalan yang disebut jalan Tengkuruk. Menurut penuturan masyarakat tengkuruk itu adalah tumpukan tengkorak pekerja paksa. Di sana pekerja paksa kalaupun bisa pulang kembali ke Jambi tidak ubahnya buntang bernyawa. Badan tinggal hanya kulit berkeriput membalut tulang, penuh koreng, kuman, dan borok, dalam keadaan 90% bertelanjang, napas bagaikan nyawa ikan, sulit diajak berbicara, wajah sulit untuk dikenali karena kurusnya. Dari Jambi yang diberangkatkan hanya 50% saja yang dapat kembali lagi ke Jambi. Gambaran pekerja paksa ini diambil dari­ Buku Jambi Dalam Sejarah Karangan Mukti Nazruddin (1989).

Sumber: https://melangun.wordpress.com/2007/03/19/kedatangan-jepang-di-jambi/

Posting Komentar

0 Komentar