Sejarah

Banner IDwebhost

Islam di Sumtera Selatan



A.   Masuk Agama Islam ke Sumatera Selatan
Menurut sebuah catatan sejarah dari Sayid naguib Al-Atas kedua tempat di selat malaka pada permulaan abad ke-7 H yang menjadi tempat singgah para musafir yang beragama Islam dan diterima dengan baik oleh penguasa setempat ialah Palembang dan Kedah. Dengan demikian maka pada permulaan Hijriyah atau abad ke 7 M di Palembang (Sumatera Selatan) sudah ada masyarakat Islam yang leh Penguasa setempat (Raja Sriwijaya) telah diterima dengan baik dan dapt menjalankan ibadah menurut agama Islam.[1]
Sriwijaya sebagai kerajaan maritime yang memiliki daerah pengaruh yang luas diluar wilayah Indonesia sekarang. Selain itu letak wilayah sriwijaya yang memiliki cirri geostrategic  di persimpangan jalan laut perdagangan antara Timur  Tengah dan china, menjadikan sriwijaya dikenal dan dituliskan dalam sejarah kedua wilayah tersebut.
Kenyataan sejarah saat perkembangan Sriwijaya tidak dapat lepas dari kaitannya dengan suasana dunia perdagangan internasional saat itu, saat majunya pengaruh Sriwijaya, kondisi di Timur Tengah  sedang berkembang ajaran Islam. Perdagangan laut yang melewatinya baik dari Cina maupun dari Timur Tengah atau sebaliknya, tentu perlu singgah dahulu ke Sriwijaya, Persinggahan inilah yang memungkinkan terjadinya agama Islam mulai masuk ke Sriwijaya atau Sumatera Selatan.
Penguasaan jalan perdagangan laut oleh bangsa arab jauh lebih maju dibanding bangsa barat. Saat itu bangsa Arab telah menguasai jalan laut melalui Samudra India yang mereka namakan sebagai Samudra Persia. Sejak pra islam Teluk Persia dengan pelabuhannya Siraf dan Basra sebagai pusat perdagangan antara Asia, Afrika, dengan Timur Tengah. Setelah berkembangnya agama Islam, Irak dengan Bagdadnya merupakan pusat politik dan perdagangan, terutama pada masa Khalifah dinasti Abasiyah (750-1268). Sekitar abad ke 10 M navigasi perdagangan sampai ke Korea dan Jepang.
Sumber perdagangan ini menyebutkan bahwa dalam perjalanannya ke Negara-negara Timur jauh atau Jepang dan China serta korea tidak lepas pula mengadakan hubungan dagang dengan Sriwijaya atau disebutnya dengan Zabaj, dari Sriwijaya ini mereka  memperoleh antara lain barang dagangan Timah.kedudukan sriwijaya  sebagai kerajaan yang memiliki Bandar perdagangan yang sangat strategis, baru berkurang nilainya.
Dari gambaran kekuasaan Sriwijaya dapatlah kita mengerti bahwa perdagangan laut yang melewatinya baik dari China ke Timur Tengah atau sebaliknya tentu perlu singah terlebih dahulu ke Sriwijaya. Persinggahan inilah yang memungkinkan terjadinya agama Islam mulai masuk ke Sriwijaya atau Sumatra Selatan.
Pada abad ke -7 terjalin perdagangan antara khalifah di Timur Tengah dengan raja-raja di di Indonesia, khususnya Sumatra selatan pada masa Sriwijaya. Sistem penyebaran Islam yang tidak mengenal misionnaris dan tidak adanya system pemaksaan melalui peperangan, tetapi hanya melalui perdagangan.[2]
Ma’moen Abdullah dalam bukunya Sejarah Daerah Sumatera Selatan berpendapat bahwa menurutnya tidak lepas dari peranan jalan yang tradisional via selat malaka yang dari abad ke abad memegang peranan penting dalam proses penyebaran agama, sejak nenek moyang kita mengenal kebudayaan hindu hingga Islam. Lalu lintas dunia yang melintasi tanah air kita dari segala jurusan, merupakan jalan kebudayaan Indonesia. Bahkan daerah-daerah yang terletak pada atau dekat urat nadi lalu lintas itu, mendapat kontak dengan kebudayaan asing yang selalu mengakibatkan terjadinya proses akulturasi di atas tubuh perabadan Indonesia asli. Perabadan tersebut merupakan lapisan tipis di atas tubuh perabadan Indonesia dari abad ke abad. Penetrasi kebudayaan asing yang mula-mula telah mempengaruhi perabadan Indonesia dengan mengikuti jalan niaga dunia adalah kebudayaan Hindu.
Melalui jalan niaga tradisional  via Selat Malaka dan Selat Sunda itu pulalah Islam masuk negeri kita via saudagar-saudagar Arab, India dan Parsi, baik secara tidak sengaja telah  mengimpor agama itu ke negeri kita ini, yang kemudian akan mempengaruhi kehidupan masyarakat dan kenegaraan bangsa Indonesia pada umumnya dan terutama mengadakan kontak dengan daerah-daerah pesisir atau pelabuhan yang dilintasi atau dekat dengan rute perdagangan itu.
Meskipun sangat sukar untuk menentukan secara tepat tanggal dan tahun masuknya Islam di Asia Tenggara pada umumnya dan Sumatera Selatan khususnya. Namun para ahli dalam bidang agama mempunyai suatu kecenderungan,  bahwa pada abad pertama ekspansi Islam keluar Jazirah Arab, yang pada waktu itu kerajaan Sriwijaya sedang mengembangkan kekuasaannya, Islam sudah mulai merembes melalui jalan niaga tersebut di atas, walaupun mendapat tempat berpijak yang tangguh, karena penguasa-penguasa setempat di daerah-daerah itu pada khususnya Sumatera Selatan, masih memegang teguh agama lama yaitu Hindu dan Budha.
Pedagang-pedagang Islam yang terdiri dari orang-orang Arab, India dan Parsi mengalir terus mendatangi pantai-pantai Timur Sumatera dengan menjalankan tugas ganda, yaitu disamping berdagang mereka juga sebagai penyebar agama, sehingga mereka boleh dikatakan sebagai “Misiionarishandelsman”. Dan tidak sedikit dari mereka ini yang menetap di daerah ini, asimilasi dengan penduduk setempat dengan jalan perkawinan dengan putri-putri penguasa Bandar yang merupakan alat untuk memudahkan hubungan dagang dan untuk menyebarkan agama mereka, karena peng-Islaman melalui orang-orang ningrat ini memudahkan penyebaran agama Islam ke rakyat biasa.[3]
Sejak masa kerajaan Sriwijaya pada abad ke-10, para pedagang Muslim dari Timur Tengah, terutama Arab dan Persia sudah datang ke Palembang. Dalam beberapa kesempatan, mereka dimanfaatkan oleh penguasa Sriwijaya sebagai utusan dalam misi diplomatic ke luar negeri. Namun, Islam menyebar dengan cepat baru dalam abad-abad menjelang kejatuhan Sriwijaya pada abad ke-14.[4]
Penguasaan jalan perdaganagan laut oleh bangsa Arab jauh lebih maju dari bangsa Barat. Saat itu bangsa Arab telah menguasai jalan laut melalui Samudera Hindia yang mereka namakan Samudera Persia. Sejak Pra Islam Teluk Persia dengan pelabuhannya Siraf dan Basra sebagai pusat perdagangan antara Asia, Afrika dengan Timur Tengah. Setelah berkembangnya Agama Islam, Irak dengan Baghdadnya merupakan pusat politik dan perdagangan, terutama pada masa Khalifah dinasti Abassiyah (750-1268). Sekitar abad ke-10 M navigasi perdagangannya sampai Korea dan Jepang.
Sumber perdagangan ini menyebutkan bahwa dalam perjalanannya ke negara-negara Timur Jauh atau Jepang dan Cina serta Korea, tidak lepas pula mengadakan hubungan dagang dengan Sriwijaya atau disebutnya Zabaj. Dari Sriwijaya ini, mereka memperoleh antara lain barang dagangan timah.
Burger dan Prajudi menjelaskan, sehubungan dengan kedudukan Sriwijaya yang memiliki posisi wilayah yang berada di persimpangan jalan laut perdagangan antara Asia Timur dengan Asia Barat, bahwa kekuasaan dan kejayaannya sangat ditentukan oleh perdagangan internasional ini. Kedudukan Sriwijaya sebagai kerajaan yang memiliki Bandar perdagangan yang sangat strategis, baru berkurang nilainya setelah munculnya Batavia atau Jakarta dan Singapura yang dikembangkan nantinya oleh Belanda dan inggris.
Selanjutnya tentang peranan sriwijaya dalam hubungan perdagangannya dengan pemerintahan Abasiyah atau sebelumnya, Lebih lanjut bahwa kerajaan sriwijaya berkaitan erat dengan adanya perkembangan Islam di Timur Tengah. Timbulnya kekhalifahan Ummayah dan Abasiyah yang bergerak di bidang perdagangan, telah menghidupkan jalan laut perdagangan yang melewati selat malaka. Dengan berkembangnya Jalan Laut perdagangan Asia Tenggara melalui selat Malaka ini, mengganti jalan perdagangan di darat yang dirintis sejak 500 SM antara Arabia dan Cina. Kondisi terbukanya jalan laut inilah yang mendorong Sriwijaya mengambil keuntungan sari kemajuan ini.[5]
Munculnya Perlak pada akhir abad ke-12, kerajaan Samudera Pasai pada akhir abad ke-13 yang didirikan oleh pedagang-pedagang  Muslim berasal dari Mesir, Maroko, Parsi dan Gujarat, yang diberikn oleh Marcopolo, tidak dapat disangkan bahwa Islam telah mendapat tempat berpijak yang kuat di daerah pesisir Timur Sumatera Bagian Utara dan lahirnya Malaka yang bercorak Islam pada awal abad ke-13, 14 dan 15 jalan laut antara Asia Barat dan Asia Timur seberapa besar berada di bawah kekuasaan pedagang-pedagang jawa. Lahir dan berkembangnya negara-negara yang bercorak Islam itu , sangat erat hubungannya dengan situasi politik di kerajaan Sriwijaya.[6]
Sejak berdirinya kerajaan bercorak islam di wilayah Sumatera bagian selatan, baru mulai berkembang beberapa abad kemudian, yakni sekitar akhir abad ke-15 M Palembang masih beragama Budha. Pada awal abad ke-16 telah terdapat keluarga Raja Palembang yang beragama Islam. Dari sumber abad ini memberikan keterangan yang cukup terperinci tentang kerajaan Palembang  yang membina dua tokoh kemudian menjadi pengembang kerajaan Islam. Kedua tokoh tersebut ialah Raden Fatah dan Raden Husen.
Dari sejarah tutur Palembang dikisahkan bahwa setelah kerajaan Sriwijaya lemah dikalahkan Majapahit maka daerah Palembang berada di bawah kekuasaan Majapahit dan Adipati Majapahit yang berkuasa di Palembang adalah Ario Damar, yang dikenal pula oleh masyarakat Palembang dengan nama Ario Dillah. Pendapat-pendapat tadi member petunjuk bahwa meskipun telah ada orang islam di Palembang (Sumsel) pada Abad ke 7, tapi baru di abad ke 17  didirikan masjid dan mulai tampak kegiatan keagamaan.[7]
B.    Persebaran Islam di Sumatera Selatan
Penetrasi Islam ke seluruh Nusantara ini, setelah kemunduran dan keruntuhan kekuasaan Majapahit, yang dipercepat oleh kedatangan bangsa Portugis di perairan Asia Tenggara pada permulaan abad ke-16. Kejatuhan Malaka pada tahun 1511, berpindahnya piadeterra golongan Muslim ke Sumatera Utara, bangkitnya kerajaan Aceh (sultan Iskandar Muda), berubahnya rute perdagangan via selat sunda mempercepat timbulnya kerajaan Banten (1527), maka penetrasi Islam ke daerah Sumatera bagian Selatan dari segala jurusan semakin intensif. Orang-orang malaka yang tidak mau tunduk di bawah kekuasaan bangsa Portugis melarikan diri ke daerah-daerah sekitarnya antara lain ke Palembang, sebab antara kedua negeri ini terdapat hubunnga genealogis.
Runtuhnya kerajaan Sriwijaya pada akhir abad ke-14 dilancarkannya ekpedisi Ming di bawah Cheng Ho pada awal abad ke-15 di perairan Asia Tenggara, kedatangan bangsa Portugis yang membawa penyakit perang Salib, revolusi keratin Demak yang terjadi dalam abad ke-16, mempercepat proses Islamisasi di daerah ini. Palembang sebagai negeri asal Raden Fatah pendiri kerajaan Demak, mengakui kekuasaan Denak dan berkembang       menjadi pusat ekspansi baru dengan Islam sebagai motor pendorong yang kuat.
Masuknya Islam di daerah ini melalui dua jurusan, yaitu : dari jurusan Utara melalui Palembang yang dibawa oleh pedagang-pedagang Muslim, karena Palembang di samping sebagai pusat kerajaan Sriwijaya, juga sebagai kota Bandar transito di Asia Tenggara, dan diperkirakan akhir abad ke 7 atau awal abad ke -8 Islam sudah masuk, dari jurusan Selatan, yang dibawa oleh para mubalig Islam dari Banten, Demak dan Mataram.
Kemungkinan besar pada akhir abad ke-7 atau sekurang-kurangnya asal abad ke-8 mengingat letak geografisnya, yang dibawa oleh pedagang-pedagang Arab. Akan tetapi sebelum sempat berkembang, telah diusir oleh golongan penganut agama Buddha Mahayana (720)89, yang pada waktu itu merupakan golongan dominan di kerajaan Sriwijaya, dengan bantuan armada Tiongkok (dynasti Tang), bantuan itu selain bermotif ekonomi, karena pedagang-pedagang Arab. Akan tetapi penetrasi Islam di daerah ini tidak dapat dibendung, justru letak geografisnya. Pada rute perdagangan, dan akhirnya negeri ini pada abad ke-17 memproklamirkan dirinya sebagai kerajaan Islam yang merdeka.
Proses Islamisasi di daerah pedalaman atau uluan agak berbeda dengan yang di pusat kerajaan (Palembang), dimana peranan para mubalig, kiyai, guru-guru agama, haji-haji sangat penting. Di samping itu peranan sungai Musi dengan anak-anaknya (Batanghari Sembilan) tidak kalah pentingnya, justru sungailah satu-satu alat komunikasi pada waktu itu. Dengan naik perahu menghudik sungai para mubalig pribumi menyebarkan agama dengan  gigihnya sampai ke Muara Beliti, Curup, Musi Rawas dan lain-lain90.
Islamisasi daerah MUBA dilakukan oleh mubaligh-mubaligh yang datang dari Haji Sepuh Jambi yang tidak jelas tahun kedatangannya, dan yang dari Palembang bernama Kiyai Marogan H.Abd.Hamid (1825-1890)91, yang kemudian pekerjaannya  diteruskan oleh muridnya Kiyai Delamat yang namanya sampai dewasa ini sangat terkenal dikalangan penduduk, karena jasanya dalam peng-Islaman daerah ini dan mendirikan mesjid-mesjid di tiap-tiap dusun. Kapan mulainya Islamisasi di daerah ini kurang jelas.
Sedangkan Islamisasi di daerah MUBA telah dimulai sejak tahun ± 1682 oleh Bujang Jawe Gelar Mangkubumi yang berasal dari Demak yang dibantu oleh Penghulu Jalil, yang di samping mengajar agama juga mengajar penduduk setempat yang masih hidup berkelompok-kelompok dalam hutan tentang bercocok tanam, mendirikan rumah dan lain-lain. Kiyai Delamat yang telah berjasa di daerah MUBA juga berjasa dalam peng-Islaman daerah ini, dan semua methode-methodenya yang diterapkannya MUBA dipraktekkannya juga disini, seperti adu kesaktian misalnya, karena masyarakat di pedalaman masih diliputi oleh suasana religio-magis.
Peng-Islaman daerah OKU dan OKI dilakukan oleh mubaligh-mubaligh yang datang dari Banten dan Demak, yaitu Tuan Umar Baginda ± 1575 untuk daerah OKI , yang menurut cerita ia adalah putra dari Sunan Gunung Jati, dan pada tahun ±1600 ia pergi ke daerah OKU. Oleh karena sulitnya komunikasi di daerah pedalaman pada umumnya, maka proses Islamisasi di daerah-daerah itu sangat lamban, yang diperkira berkisar-berkisar antara abad ke-16 sampai dengan abad ke-20, sehingga awal abad ke-20 seluruh penduduk daerah ini menjadi Muslim. Pada abad ke-17 di daerh OKU datanglah mubalig-mubalig dari Padang bernama Umpu di Padang, dari Palembang Syeikh Muhammad Saman, dan pada tahun 1656 H. Juana dari Banten, yang mendirikan pesantren di Marga Padang Suku II tahun 1750 Kms Jambi dari Palembang; dan pada tahun 1850 di daerah Martapura datang H. Jamaluddin dari Martapura Kalimantan. Daerah yang paling akhir di Islamkan ialah Muara Dua (OKU) antara tahun 1900-1918 bersamaan dengan kebangkitan Syi’ar Islam secara lebih merata dan mendalam, kebangkitan mana merupakan reaksi terhadap anggapan pemerintah Hindia Belanda, bahwa bangsa Indonesia (Umat Islam) tidak bersungguh-sungguh menjalankan ajaran agamanya.[8]
Adapun Islamisasi daerah LIOT yang mula-mula ±1311 berdasar tulisan di atas kulit kayu yang diketemukan di dusun Muara Danau Semendo, hanya tidak disebutkan siapa mubalighnya. Dan kemudian tahun ±1395 disiarkan oleh dua orang ulama : Syekh Mahmud Ratu dan Syekh Alam Raja Kuasa Kute Talang Gumilang Ayek Lematang. Di samping itu tahun ±1342 dua orang ulama mendirikan pondok sebanyak 40 buah ±3 Km dari Muara Enim sekarang, yang dijadikan pusat pendidikan agama Islam di daerah itu, dan ulama-ulama itu Syekh Jalil Cakrabirawa dan temannya Ahmad Mahmud. Dan selanjutnya Syekh Jalil itu menyiarkan agama ke gunung Dempo (1412).
Islamisasi daerah Lahat diperkirakan pada abad ke-17 (±1600) sejak Talang Tumeten Tujuh diresmikan menjadi Perdipo, yang menjadi pusat penyebaran Islam di daerah Pagar Alam dan daerah-daerah lain di seluruh kabupaten Lahat. Mubaligh yang terkenal adalah Baharuddin Nuryakin bergelar Puyang Awak yang berasal dari Jawa.
Sedangkan Islamisasi daerah Bangkalan Belitung tidak dilakukan oleh mubaligh-mubaligh dari Palembang, Jambi atau Jawa, tetapi dari Johor, yang mula-mula terjadi pada abad ke-16 yang dilakukan oleh Tuan Serah dari Johor yang menjadi Wakil Sultan Johor di Bangka. Kemudian pada abad ke-17 datang Nukhada Sulaiman orang Arab dan Qori berasal dari Batu Sangkar yang bersama-sama anak-anak dan cucunya mendirikan mesjid di Muntok. Adapun mubalig yang datang di Belitung Syekh Abubakar alias Sayid Hasan dari Pasai yang mendirikan mesjid yang pertama kali di Belitung.
C.    Pengaruhnya
Penetrasi Islam di daerah ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat pada umumnya dan kehidupan kenegaraan khususnya, mendesak kedudukan agama Buddha yang sebenarnya hanya merupakan lapisan tipis di atas tubuh kebudayaan Indonesia asli. Walaupun pada mulanya Islam hanya tersebar di kalangan pedagang-pedagang dan tingkatan atas dari masyarakat pusat kerajaan, tetapi akhirnya Islam diproklamasikan menjadi agama negara pada abad ke-17 pada pemerintahan Sultan Abdurrahman atau disebut juga Sultan Ratu Abdurrahman atau Jamaluddin Sultan Candi Walang (1662-1706), ketika itu Palembang menjadi negara Islam yang merdeka. Oleh karena itu sejak abad ke-17 itu boleh dikatakan bahwa Islam secara sah menggantikan kedudukan agama negara yang lama (Buddha). Dengan demikian Islam juga menjadi agama seluruh penduduk pusat kerajaan, karena pada umunya di negeri kita agama Raja adalah agama rakyat.
Kaum ulama dirangkul oleh Sultan ikut duduk dalam pemerintahan-hukum Islam mendampingi hukum adat-mesjid dan langgar mulai banyak dibangun yang dijadikan pusat pendidikan agama, sehingga dengan demikian Islam betul-betul memegang peranan dan mempengaruhi kehidupan keagamaan serta pendidikan masyarakat di daerah pusat kerajaan pada umumnya. Diproklamasikannya Islam sesuai dengan agama kerajaan berarti para mubaligh mendapat dukungan moril dari Sultan dalam peng-Islaman daerah pedalaman.
Palembang sebagai pusat kerajaan memegang peranan dalam ekspansi Islam ke daerah pedalaman- para mubaligh mengudik sungai memasuki daerah-daerah uluan- mengajar penduduk mengaji Al-Qur’an, sembahyang, hukum agama- mendirikan mesjid-mesjid, sehingga akhirnya pada awal abad ke-20 seluruh penduduk daerah pedalaman menjadi Muslim. Bahkan di kalangan orang-orang yang mampu pergi ke tanah suci (Mekkah) menunaikan rukun Islam yang ke-5 dan kadang-kadang tinggal untuk beberapa tahun disana untuk memperdalam pengetahuan agama, yang setelah kembali ke tanah air mengamalkan pengetahuannya di kalangan umat. Berapa besarnya pengaruh Islam di kalangan masyarakat, sehingga agama Islam merupakan alat yang ampuh dalam menentang kafir.[9]



REFERENSI
 [1] K.H.O Gadjanata dan Sri Edi Swasono, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan (Jakarta: UI Press, 1986)., hlm. 19.
[2] Diakses dari http://witiastuti.blogspot.co.id/2013/10/masuk-dan-berkembangnya-islam-di_3.html pada tanggal 26-02-2017.
[3] Ma’moen Abdullah dkk, Sejarah Daerah Sumatera Selatan (Jakarta : Depdikbud,1991), hlm. 104-105.
[4] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,( Bandung: Mizan, 2003), hlm. 304.
[5] K.H.O Gadjanata dan Sri Edi Swasono, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan (Jakarta: UI Press, 1986)., hlm. 28-29.
[6] Ma’moen Abdullah dkk, Sejarah Daerah Sumatera Selatan (Jakarta : Depdikbud,1991), hlm. 105.
[7] Husni Rahim, Sistem Otoritas & Administrasi Islam : Studi Tentang Pejabat Agama  Masa Kesultanan dan Kolonial Belanda di Palembang (Jakarta : Logos Wacana Ilmu). Hlm. 50-52
[8][8] Ma’moen Abdullah dkk, Sejarah Daerah Sumatera Selatan, hlm. 106-107
[9] Ma’moen Abdullah dkk, Sejarah Daerah Sumatera Selatan.hlm. 108-109



Sumber: http://ikhsannurdc.blogspot.com/2018/02/zuid-sumatra-online-a.html

Posting Komentar

0 Komentar